9. Sebuah Pilihan

1.1K 46 9
                                    

"bundaaaaaaa" Airin memeluk bundanya dari belakang, membuat bunda tersenyum merasakan kehangatan bersama anak kesayangannya.

"sudah pulang sayang?" bunda berbalik, lantas mengecup lembut, puncak kepala Airin. Rsasa sayangnya tidak akan pernah hilang untuk anak-anaknya, Wanita paruh baya itu berusaha bangkit dari kejadian buruk yang terjadi dimasa lalu. Ia selalu berusaha menjadi penopang kerapuhan anak-anaknya."Johan mana.? Kamu tidak pulang bersamanya?" bunda melanjutkan kegiatannya kembali.

" Tidak, dia pulang ke rumah pacarnya" ucap Airin datar

" Johan punya pacar?" bunda mengerutkan keningnya heran. Sejak kapan Johan pulang kerumah orang lain, biasanya juga pacarnya yang dibawa kerumah.

" iya itu loh Nando sama Alvin" lantas mereka berdua tertawa.

Bunda bersyukur Johan bisa mengenal Alvin,dan Nando. Bunda sangat ingat saat Johan belum mengenal kedua sahabatnya, Johan seperti orang yang tidak punya harapan hidup. Hari-harinya selalu dihabiskan dengan melamun di balkon. Apalagi dulu Airin masih tinggal di Surabaya, dan Noval sibuk magang di Rumah sakit. Bunda hanya bisa menenangkannya dengan air mata yang selalu berhias di pipinya. Namun, lamunannya berubah jadi candaan, saat Johan mengenal Alvin dan Nando. Air mata bunda berubah menjadi tawa saat melihat Johan kembali ceria, meski tidak jarang Johan pulang berbekal luka memar di wajahnya. Itu lebih baik, dari pada melihat mata kosong Johan. Kebahagiaan di keluarganya terasa sempurna saat Airin kembali dan tinggal bersamanya.

***

Suara petikan gitar menggema di setiap sudut ruangan sempit itu, mengalum bersama angin, menemani sang rembulan memecahkan kesunyian malam. Tiga pemuda berkelut dengan kegiatannya masing-masing. Ini berbeda, di saat laki-laki sebaya mereka berdansa ria di sebuah club, balapan liar, atau minum-minum tidak jelas. Mereka bertiga menciptidakan music sendiri dengan keahlian yang mereka punya.

" karena kuyakin cinta dalam hatiku hanya milikmu sampai akhir hidupku. Karena ku yakin disetiap hembus nafasku hanya disiru satu yang selalu ku rindu.." suara merdu Johan melengkapi keindahan petikan gitar Nando. Mereka seakan punya cerita dalam lirik lagu yang mereka bawakan, terutama Johan.

Johan dan Nando bermain bersama sementara Alvin sibuk dengan dunianya. Laki-laki itu menyimpan lengannya menutupi matanya seakan tidak mau diganggu oleh siapapun. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang mereka ketahui Alvin akan diam seperti batu, tentang masalah keluarganya. Mulutnya seakan bisu saat Johan dan Nando meminta Alvin untuk bercerita tentang masalahnya.

Johan dan Nando tidak bisa berbuat apa-apa, Alvin terlalu egois dalam permasalahan keluarganya. Ia selalu berjalan sendirian tanpa harus dibantu oleh orang lain. Kedua sahabatnya itu hanya bisa menyemangatinya, karena mereka juga tau Alvin bisa menanganinya.

" Howowowowowo" ponsel Johan bergetar membuatnya mengehentikan nyanyiannya. Tanganya dengan cepat meraih ponselnyang ada di saku celananya.

" kenapa Jo?" petikan gitar Nando juga berhenti bersamaan dengan Johan yang menyimpan kembali ponselnya.

" kayanya gue harus pulang sekarang deh" Johan mengemas barang-barang miliknya.

" Lah ko gitu, ini lagi seru ini Jo.?" Nando menyimpan gitar kesayangannya itu dengan hati-hati. Matanya menatap Johan kecewa pasalnya, jika Johan pulang Nando tidak bisa melanjutkan permainan gitarnya. Alvin juga sedang tidak bisa diajak bicara sekarang.

" Ade gue dirumah sendirian, Bunda ada urusan malam ini" ucap Johan santai.

" Gak asikkkkkk lu Jo" Nando beranjak dari tempat duduknya, dan membaringkan badannya disamping Alvin, namun Alvin sama sekali tidak bergeming. Seakan hanya ada dia yang berada disini. Tangannya masih setia menutupi wajahnya. Bahkan saat Nando mengambil bantal yang dipakai Alvin. Alvin sama sekali tidak bereaksi.

Am I Wrong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang