26. Let Her Go

830 24 1
                                    


Johan bangun lebih pagi hari ini,bahkan sang pajar belum menunjukan semburatnya. Johan merapikan kamarnya yang kemarin hancur karena kedua temannya. Sebentar, apa seseorang yang berhasil mengambil kebahagiaannya masih pantas disebut sebagai seorang teman? Entahlah. Pikiran Johan masih kacau, karena sampai detik ini kesakitan itu masih berdebur seperti amukan ombak di hatinya. Sebenarnya Johan malas untuk keluar kamar dan bertatap muka dengan seseorang yang selama ini memberi harapan semu. Ah, bukan memberi hanya saja Johan berharap kepada yang masih semu.

Johan sudah rapi dengan baju seragamnya hari ini, sekolah akan mengadakan ekstrakulikuler terakhir untuk siswa kelas tiga yang sedang menunggu kelulusan. Dan, ketua Seni Lukis ingin berbicara serius dengannya hari ini. Tidak terasa ini sudah setengah tujuh dan pajar sudah bersemburat seperti memberi isyrat kepada burung untuk segera bercicit indah. Tidak menunggu lama Johan mengambil tasnya dan menyeret kakinya keluar dari kamarnya.

"Apa gunanya aku hidup, jika orang tuaku sudah tidak ada disini"Johan kecil menatap kosong tangga yang kini akan di pijakinya." Tuhan, jika memang mereka Kau ambil karena aku nakal. Maka kembalikanlah aku janji aku tidak akan nakal lagi" dia terus menangis seakan pasokan air matanya tidak pernah habis, matanya sudah sembab hidungnya juga sudah memerah bahkan suaranya sudah sangat parau."Bagaimana mungkin aku nakal bahkan kami bertemu hanya sekali dalam satu tahun" racaunya lagi, keadaanya semakin memburuk saat anak itu ditinggal orang tuanya seminggu yang lalu.

Johan melangkah menyusuri tangga dengan kaki bergetar, entah apa yang terjadi kakinya tidak lagi bisa menopang dan menjaga keseimbangan tubuhnya, hingga anak itu terpeleset di tangga dan berguling kebawah hingga berhenti di anak tangga yang terakhir. Dengan tiba-tiba Airin berteriak kepadanya, berusaha membantunya dengan sebisanya.

Dalam keadaan setengah sadar Johan tersenyum kepada Airin, dengan isyarat jangan khawatir aku baik-baik saja.

Johan tersenyum miris saat sekelebat kenangan di masa lalu terputar di kepalanya, saat Airin menangis dan tidak mau kehilangan Johan. Johan menatap kosong menyusuri setiap anak tangga, lalu pikirannya kembali terbang kepada kejadian pengeroyokan di sekolah. Sangat jelas saat Airin berlari dan menangis menolongnya melakukan hal yang sama seperti kejadian 6 tahun yang lalu.

"Bahkan sekarang hal itu tidak akan terjadi lagi. sudah ada pria lain yang akan kamu perlakukan sebagaimana kamu perlakukan ku dulu Rin"

" Jo" bunda berteriak dari bawah memecahkan lamunan Johan. " Ngapai ngelamun di situ ?, mari makan" bunda tersenyum menunggu johan di bawah tangga. Dengan cepat Johan turun dan memeluk bunda. Nampaknya Johan tidak bisa menyembunykan kesakitannya.

" Kamu kenapa? Kamu tidak suka kejutan bunda kemarin" tanya bunda, menepuk-menepuk bahu Johan. Johan sadar bahwa kelakuannya malam itu akan membuat bunda kecewa. Kenapa Johan bodoh, kenapa dirinya terlalu sibuk dengan hatinya sendiri tanpa peduli ada orang lain yang dirugigan oleh ulahnya.

Johan melepaskan pelukannya, matanya menatap bunda dengan sayu " maaf bunda, Jo...." Johan menghentikan perkataanya. Laki-laki itu tidak tau apa yang harus dijelaskannya. Karena tidak mungkin Johan bilang kalau Johan menintai anaknya.

" Bunda ngerti, jangan jelaskan kalau kamu tidak bisa. Bunda akan menunggu sampai kamu siap untuk bercerita" Bunda tersenyum, membuat Johan membalas senyumannya.

" Makasih bun, Love You" Johan mencium kening bunda lembut. Bunda memang paling mengerti keadaannya sekarang.

Bunda menggandeng tangan Johan menuju meja makan, johan tesenyum cerah. Menarik kursi untuk bergabung namun senyumnya hilang saat matanya Johan tertuju kepada seseorang disampingnya, Airin. Raut wajah Johan berubah dingin dan sepertinya itu perubahan terecepat yang pernah Johan rasakan.

Am I Wrong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang