18. Rain

912 32 0
                                    


Malam begitu sunyi, sama halnya seperti rumah mewah bercat putih ini, terlihat tenang dan sepi tanpa penghuni. Namun, siapa sangka. Di balik itu semua terdapat kegaduhan hebat di dalamnya. Sebuah tamparan keras mengenai pipi laki-laki itu, menyisakan memar merah dan bercak darah disudut pipinya. Entah apa yang membuat laki-laki paruh baya itu menghajar anak laki-lakinya. Entah apa yang membuat nya marah hingga ia tega menyakiti anaknya sendiri.

" Dasar anak kurang ajar, tidak tau diuntung. Ngapain kamu tinggal di kost-an sempit temanmu itu, ngapain kamu balapan gak jelas. !" laki-laki paruh baya itu bertolak pinggang.

" Sejak kapan papa peduli?" Alvin bangun dari duduknya, bukan duduk seperti biasanya. Tapi duduk karena barusan tamparan papanya yang membuatnya tersungkur.

Plaaak satu tamparan lagi mengenai wajah tampannya, menambah rasa sakit disudut bibirnya. Alvin benar-benar tidak habis pikir dengan Papanya yang menjelma menjadi preman sekarang. Perlakuannya sangat kasar.

" kamu bilang kapan papa peduli, papa selalu peduli sama kamu. Papa selalu ngasih uang banyak sama kamu, itu cukup untuk anak SMA seperti kamu! "

" Yang Alvin butuhkan bukan uang pah, kenapa papa mengungkit uang papa seakan papa peduli. Kalo papa peduli papa gak akan ngebiarin Alvin sendirian dirumah, papa lebih suka mehabiskan waktu dengan wanita itu dibanding Alvin!, seenggaknya kalo papa peduli sama Alvin kenapa papa ngebiarin mama dan Alsa pergi" tangan Alvin terkepal, seragam masih menempel di tubuhnya, keringat masih membanjiri pelipisnya, bahkan tasnya pun belum sempat Alvin lepas. Belum sempat Alvin menghirup udara rumah dadanya sudah sesak dengan perlakuan kasar ayahnya.

" Kamu itu tidak tau diuntung yah, Harusnya kamu bisa lebih mandiri papa gak ada dirumah itu cari uang buat kamu, kamu gak mikir kalo papa cape!. Kenapa kamu membahas mereka yang jelas-jelas meninggalkan papa"

" Ck papa bilang papa pergi cari uang buat Alvin?" Alvin mengeluarkan semua kartu kredit yang ada di dalam dompetnya, membiarkannya berserakan di lantai." Tuh aku kembaliin rasa peduli papa,biar rasa cape papa gak terbuang sia-sia. Dan inget bukan mereka yang meninggalkan papa, tapi wanita itu yang membuat mereka meninggalkan papa" Alvin meraih kunci motornya kembali dan berjalan cepat meninggakan dua orang yang sangat memuakan. Alvin tidak habis pikir dengan sikap papanya yang selalu menganggap dirinya benar.

Alvin melajukan motornya kencang, memecahkan kesunyian malam membelah jalanan yang sepi. Alvin sangat emosi, ingin sekali Alvin merobek mulut papanya yang tajam, menghancurkan hatinya yang sekeras baja, mematahkan pikirannya yang selalu meninggi. Namun apadaya Alvin sudah berjanji kepada mamanya untuk selalu menjaga papanya.

Alvin menghentikan motornya kakinya melangkah menuju sebuah kursi taman di trotoar tepat di bawah lampu jalan. Terlihat indah namun tidak seindah hati Alvin sekarang. Alvin berteriak mengeluarkan suara emosi yang membakar habis kesabarannya. Sampai sesuatu yang dingin menyentuh ubun-ubunnya, dan merembet kepundaknya membasahi bajunya. Ya hujan, langit mengertinya sekarang menyuruh awan menurunkan hujan menemani kesendirian Alvin dibawah lampu jalan. Alvin menatap kosong rintik hujan yang jatuh, sekilas terlintas potongan setiap kenangan bersama keluarganya, tawanya bersama Alsa saat bermain, manjanya Alvin dengan mamanya saat sarapan, hangatnya kebersamaan mereka saat makan malam dan mendengarkan keluh kesah papanya bekerja. Sampai kedatangan Istri kedua papanya, kecelakaan Alsa dan Mamanya, mamanya yang memutuskan pergi dari rumah dan membawa Alsa, papanya yang berubah kejam setiap kali Alvin pulang. semua itu terlintas dipikirannya membuat cairan hangat membasahi pipinya. Ya, Alvin menangis mengeluarkan semua pikiran yang ada di otaknya, sesak yang ada di hatinya, dan beban yang ada di pundaknya.

Am I Wrong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang