11. Sebuah Alsan Tersenyum

1K 43 2
                                    

Dari tadi aku memejamkan mataku, tapi tetap saja tidak bisa tidur. Pikiranku masih memutar semua perkataan sialan Alvin, bagaimana bisa dia seegois itu. Kudengar seseorang masuk dan menghampiriku dia duduk disamping kakiku.

" Johan kamu tidur?". suaranya lembut menusuk telingaku, tanpa aku melihatnya aku sudah tau dia siapa. Namun aku enggan untuk menjawabnya, atau sekedar membuka matidaku.

" Johan kamu kenapa bolos? Apa ada masalah? Kenapa gak cerita ? atau jangan-jangan yang dikatidakan Nando benar?" Airin bermonolog sendiri tanpa tau aku mendengarnya sekarang. Tapi apa yang dikatidakan Nando kepadanya. Kenapa nada bicaranya terdengar bergetar.

Airin terdengar membuang nafas kasar," apa persahabatan kalian hancur gara-gara aku?" kata-kata yang keluar dari mulut Airin berhasil membuatku mengerjapkan mata, pandanganku gelap karena jaket itu masih setia menutupi wajahku sekarang. "apa aku salah jika aku suka sama Alvin? Apa aku salah dekat sama kamu? Atau apa aku salah pindah kesekolah kamu."suaranya terdengar bergetar , membuatku yakin jika Airin menangis.

"seharusnya dulu aku jangan pindah kesekolah kamu, seharusnya aku bisa menahan rasa yang aku punya buat Alvin, seharusnya kita gak dekat disekolah, seharusnya aku gak ngangucurin persahabatan kalian,seharusnya......"perkataanya berhenti saat aku menarik tangannya, menenggelamkan kepalanya kedalam dekapanku, Airin terisak dan aku tau beban yang dipikulnya begitu berat sekarang.

Kelemahanku adalah air matanya, lebih baik dia menyebalkan, manja,kasar atau buatku jengkel seperti biasa, daripada aku harus melihatnya rapuh seperti ini. Ini lebih sakit dibandingkan dengan pukulan Alvin. Air matanya seperti belati, yang dapat menusuk hati hingga merasakan sakit tidak bertepi.

" jangan terus menyalahkan dirimu sendiri" aku membelai surai hitamnya berharap isaknya berhenti.

Airin adalah gadis yang ceria. Dia itu berisik, cerewet, dia selalu mengacaukan mood ku kala aku bermain dengan kuas dan kanvas ku, kadang dia bisa kaku seperti batu, dingin seperti es , tapi meski begitu dia adalah alasan ku tersenyum. Dia wanita yang tangguh dan tidak pernah menyerah, dia selalu membuat seseorang disampingnya merasa damai, bahkan aku sempat menyangkanya tidak punya air mata, karena dia tidak pernh menangis, dalam masalah seberat apapun. Keculi saat kejadian enam tahun lalu, aku sempat melihatnya begitu rapuh saat gadis itu kehilangan ayahnya, saat aku harus menjalani pengobatan di jakarta dan dia harus melnjutkan sekolah di Surabaya. Itu terakhir aku melihatnya menangis. Dan sekarang sejak kejadian tempo hari, sejak lelucon gila Alvin, aku menemukan titik kerapuhan dalam diri gadis itu. aku tau dia pandai menyembunyikan kesaakitannya. Tapi tidak , aku bisa dengan jelas melihat kerapuhan dalam sorot matanya. Bahkan aku sempat melihat gadis itu menangis diam-diam di kala malam.

" tapi aku.."

"shuuuutttttttttttt, jangan pikirkan semua ucapan mereka. Kita akan tetap dekat dimanapun itu, ini salahku andai dulu aku tidak mengganggumu, dan langsung menganggapku mungkin tidak akan seperti ini" bagaimana bisa isakan mu begitu terasa menusuk, sementara aku sendiri yang menciptidakan isakan itu. Ya, jika saja aku menghentikan Alvin waktu itu, mungkin Airin tidak akan seperti ini. Dan jika aku bisa melerai kesalahpahaman ini, mungkin mereka tidak akan menganggap Airin biang dari hancurnya persahabatan kami.

Airin melepaskan dekapanku menghapus jejak air matanya dengan kasar. Matanya membola saat mendongak melihat wajahku.

"Johan kamuu!" tangannya melayang memukul bahuku membuaku mengernyit, tidak mengerti. Rautnya berubah, sekarang dia membentidakku dan memukul bahuku kasar.

" itu wajah kamu kenapa lagi hahhh?" mulai lagi bawelnya, tangannya menunjuk-nunjuk lukaku dengan kasar. Aku tau dia memperlakukan ku kasar, tapi ini lebih baik dari pada aku melihatnya diperlakukan kasar.

Am I Wrong (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang