42 - Kenyataan Terpahit

1.7K 92 5
                                    

Dikala mata terasa perih sarat akan kesedihan maka hati pun bergejolak menuntut rasa pahit dalam jiwa yang kini terasa sempit untuk bernafas karena cinta.

Alisha Pov

Perasaanku semakin tak menentu karena hal yang menimpa diriku saat kemarin. Satu hal yang kini baru aku ketahui seakan menusuk relung hati perihal kenyataan ini. Seorang ibu yang selalu aku banggakan dengan segala kekurangannya bahkan kian membuatku bersedih karenanya tapi aku tetap mencintainya. Sosok ayah yang selalu bersedia punggungnya untuk menggendongku serta jadi sayang pelindung kala rasa ketakutan menghadang dan selalu mengukir seulas senyum dibibirku. Tapi pada kenyataannya sekarang mereka membuat pertahanan kasih sayangku seakan meluruh bukan karena aku tak lagi menyayangi mereka tapi rasa kecewa yang mencuat dari dasar hatiku mampu menyingkirkan logikaku.

Tak hentinya air mata ini mengalir bebas membasahi wajahku. Kekasihku selalu berkata bahwa menangis adalah kesukaanku dan aku pun mengelaknya tanpa kusadari ucapannya dirasa benar adanya karena hanya dengan menuangkan emosi seperti inilah hatiku sedikit lega.

"Alisha udah ya nangisnya. Dari tadi loh air mata lo ngalir terus. Gue yakin lo kuat Lish." Dania tersenyum memberi semangat untukku sembari mengusap lembut punggungku.

"Tapi ini berat Dan buat gue. Hiks...Gue gak tahu lagi sekarang harus apa selain nangis." Ucapku lirih sembari terisak.

"Iya gue paham Lish. Tapi lo juga jangan nangis terus. Liat tuh mata lo sembab yang ada malah kerasa sedihnya. Udah ya sekarang lo istirahat." Dania menghapus air mataku.

Aku tersenyum tipis. "Makasih Dan, disaat gue kayak gini lo ada buat gue. Gue mau nginep di rumah lo boleh ya." Aku memeluknya.

Dania membalas pelukanku. "Iya lo boleh tinggal di sini semau lo. Asal jangan sedih lagi. Kita tidur yuk udah maam besok kan sekolah."

"Lo emang sahabat terbaik gue Dania Novita pacarnya Albiansyah. Makasih. Makasih."

Aku mengurai pelukan itu seraya kedua sudut bibirku terangkat. "Oke gue gak mau nangis lagi. Lardo juga selalu bilang gak bosen apa lo nangis mulu. Tapi gue boleh kan tinggal
sama lo sampe hati gue tenang."

"Boleh Alisha. Yang penting lo janji gak nangis lagi. Oke!"

"Oke. Yaudah gue mau cuci muka ya bersihin muka gue yang udah kusut gini. Lo bobo duluan aja Dan." Aku beringsut dari ranjang tempat tidur.

"Seandainya lo tahu Lish. Gue yakin lo gak akan mau lagi peluk gue kayak tadi. Gue gak mau lo benci sama gue." Sebulir bening lolos dari mata Dania.

Aku menghampiri Dania yang tengah terlelap. "Makasih ya Dan udah jadi sahabat terbaik gue. Gue sayang banget sama lo dan gue harap gak akan ada masalah ya antara kita." Aku berkata tepat didaun telinganya.

"Gue juga sama kayak lo Lish. Tapi apa lo bakal maafin gue setelah..."

"Lo itu sahabat gue Lish." Air mata Dania kembali menetes karena tekanan dalam hatinya yang kian menuntut akan rasa bersalah.

----

"Hallo. Maaf ini siapa ya?" Tanyaku pada orang di sebrang sana.

"Gue Carissa Alisha." Jawabnya santai.

"Ngapain lo telpon gue?" Tanyaku cuek sembari memakai sepatu sekolah.

"Nanti lo ketemu sama gue di taman sekolah."

"Buat apa? Sorry gue sibuk."

"Terserah lo aja sih. Dan lo pasti bakal nyesel gak ketemu gue." Terdengar suara Carissa yang terkekeh pelan.

Trust MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang