28 - I Wuf You Lardo

2.1K 91 6
                                    

Kau tak pernah berpikir panjang untuk selalu ada di sisiku begitu pun aku yang tak ingin menyiakan waktu terindah bersamamu.

Alisha Pov

Mataku menangkap kondisi Lardo yang tampak pucat pasi. Hatiku terenyuh mengingat runtutan kejadian yang ku alami hari ini. Ku lihat guratan  khawatir sembari menahan sakit di wajah tampan Lardo. Sungguh ini membuatku merasa bersalah tapi lagi-lagi sifatnya membuatku merasa di butuhkan olehnya.

Aku menggenggam erat tangan Lardo dan tak henti menciumi telapak tangannya. "Lardo maafin gue ya, lo rela nolongin gue padahal kondisi lo kayak gini. Lo masih sakit Do, gue jahat. Gue nyesel gak pernah dengerin apa kata lo tentang Mark. Selalu mau menang sendiri dan ujung-ujung juga lo kan yang ngalah. Maaf Do." Ucapku lirih di akhir kalimat dan tangisnya kembali pecah.

Lardo mendongakan wajahku yang tertunduk karena menangis. Di tatapnya wajahku lekat dan dengan telaten menghapus bulir demi bulir air mata yang menetes ke pipiku.
"Lo ngomong apa sih Lish. Gak perlu minta maaf juga sama gue, yang ada juga gue yang minta maaf sama lo karena telat nolongin lo." Lardo memberikan senyum termanisnya untuk membuatku kembali mengerti bahwa aku tak perlu khawatir.

"Gue gak apa-apa. Yaelah besok juga udah masuk sekola gue. Jangan alay kenapa Lish, udah biasa juga gue bonyok." Lardo terkekeh.

"Beneran Do? Muka lo pucet banget tahu ih. Gue takut."

"Takut kenapa Alishaku sayang. Gue gapapa oke. Sini peluk lagi ya!" Lardo membawa tubuhku ke dalam dekapannya.

Hangat dan tenang rasanya jika ia memelukku seperti ini. Aku enggan mengurainya hingga wajahku sengaja membenam di dada bidangnya. Aku tersenyum mendengar jantung Lardo berdebar seperti dentuman musik yang volumenya tidak beraturan. Ku rasakan dia mengusap lembut rambutku yang terurai indah.

"Lo lucu Do." Aku terkikik geli sembari menempelkan kedua telapak tanganku tepat di dada milik Lardo kekasihku dengan wajah yang ku buat aneh.

"Lo kenapa begitu mukanya neng? Komuk anjir, Ngapain nih  tangan pake acara taro di sini?" Lardo menurunkan tanganku perlahan.

"Ya abisnya jantung lo deg-degan gitu. Ketahuan lo Do selau gugup ya deket cewek seksi kayak gue." Aku menyenggol lengan kekarnya.

Lardo mendelik. "Apa lo bilang barusan. Seksi?" Tawa Lardo pecah menghiasi sudut ruangan ini.

"Alisha, Alisha. Lo ada aja ya tingkahnya. Sejak kapan lo seksi Petit. Kecil begitu juga." Lardo terkekeh sedangkan aku menatap kesal dirinya.

"Eh dasar lo. Gue becanda kali. Iya gue mah tahu diri kok Do. Gue gak seksi kayak cewek lain apalagi Carissa. Ya terus kalau gue kecil kenapa lo mau sama gue. Cari aja sano cewek montok kayak Rika." Aku memalingkan wajah dari pandangannya.

"Belum tahu aja lo gue kayak gimana. Nyesel Do bilang gitu ke gue. Di cium gue juga ketagihan lo pasti." Ucapku sepelan mungkin tapi sepertinya Lardo mendengar ucapanku.

"Apa lo bilang barusan Petit? Cium?" Tanya Lardo santai.

"Ya gimana gue mau tahu Lish. Lo aja gak mau gue cium."

"Ya kali gue nyium lo duluan. Sarap lo emang gue cabe yang harganya sekilo goceng." Aku mencebikan bibir.

Lardo tersenyum. "Oh jadi sekarang mainnya pake kode nih. Yaelah neng bilang kali kalau mau abang cium. Tuh bibir jangan maju dong. Gue sosor tahu rasa lo." Lardo menangkup pipiku.

"Apan sih lo. Eh gue udah pernah bilang ya sama lo. Gue gak mau CIUMAN walaupun lo pacar gue. Karena kata papi cowok itu kalau udah di kasih celah sedikit nanti nggak tahu diri dan minta yang aneh-aneh. Dan catat Lardo seorang Alisha gak pernah ciuman dan gak akan mau sebelum menikah. Titik. Camkan baik-baik sayang." Aku bicara dengan nada yang cepat membuat Lardo menggelengkan kepalanya bingung melihat sosokku yang menjelma menjadi wanita cerewet.

"Iya sayangnya Lardo. Gue inget cinta. Lagian emang lo pikir gue pernah gitu ngerasain yang namanya ciuman. Kita punya prinsip yang sama Petit. Bibir gue yang seksi ini cuma untuk bidadari hidup gue nanti. Belum tentu lo juga kan?" Lardo terkekeh.

"Ya bagus deh kalau gitu. Oh jadi lo gak mau nih berjodoh sama gue? Ya ya ya." Aku mendengus kesal.

"Tapi gue gak percaya tipe cowok kayak lo gak pernah begituan. Boong kali lo, pencitraan segala. Ngaku aja sama gue, jujur!" Tanyaku selidik.

"Terserah lo Lish. Intinya gue udah jujur. Percaya atau enggak ya urusan lo lah." Lardo berbisik tepat di telingaku.

Aku duduk di tepi ranjang sembari menghela nafas panjang. Memejamkan mataku sebentar dan ternyata pipiku sudah banjir akan air mata. Lardo menghampiriku dan berjongkok di hadapanku.
"Lo kenapa lagi sih beib? Jangan nangis mulu kenapa. Kasian mata lo udah sembab juga. Kenapa sayang?" Lardo membelai wajahku lembut dan menyingkirkan berapa helai rambut yang menghalangi wajahku.

"Lo pernah ciuman juga sama Carissa Do." Balasku dingin.

"Ya Allah. Kan lo tahu Lish bukan gue yang nyium dia. Carissa aja yang agresif sama gue. Kok lo bawa-bawa dia sih. Jadi baperan gini. Males gue."

Aku menangis tambah kencang membuat Lardo kelimpungan. Lardo memang bukan tipe cowok yang dengan mudah menenangkan wanita ketika menangis. Jauh dari kata romantis bagi kalangan wanita, entah dari cara bicaranya yang suka asal atau banyak tingkah. Tapi aku menyukai apa pun sifat yang ia miliki. Karena bagiku kadar keromantisan dalam sebuah hubungan tidak dapat di ukur oleh orang lain melainkan dengan cara tersendiri yang mampu mencetak keharmonisan. Dengan dia menunjukan segala perhatiannya untukku maka itu jauh lebih berarti daripada hanya ucapan romantis belaka.

Lardo mengacak rambutnya gusar. "Jangan nangis lagi ya sayang! Gue harus gimana coba. Oh lo mau gue nyanyiin. Yaudah lagu Despacito ya." Aku menepuk dahinya.

"Lo ngaco ah. Masa lagu begituan. Kita belum cukup umur buat paham arti lagu itu. Kata papi kita nggak boleh dengerin lagu itu." Lardo menoyor kepalaku pelan.

"Alay lo Lish. Lagu doang. Bodo amat artinya apa juga, toh cuma nyanyi kan. Semua aja kata papi lo. Nah gitu ya jangan nangis mulu. Gak bosen apa. Mending pulang yuk ah. Ngapain di tempat Mark?"

"Yaudah ayo. Tapi kasian dia pingsan."

"Lo polos dan baik banget sih Lish jadi orang. Udah tahu dia punya niat jahat sama lo masih aja di pikirin. Biarin amat dia si sini sendirian. Di semutin kek, lalerin kek. Bodo amat bukan urusan gue. Ayo!" Lardo mengacak rambutku dan menarik tanganku keluar dari apartment milik Mark.

Aku mengekornya dari belakang dan Lardo dengan cekatan
mensejajarkan langkahnya denganku lalu merangkul pinggangku yang ramping. Dia membantuku berjalan karena kakiku masih terasa perih karena terkena pecahan botol tadi.

Trust MeWhere stories live. Discover now