***

Shera diam seribu bahasa. Kata-kata yang keluar dari mulut Johan seakan menghantam hatinya begitu keras sangat menyesakan. Shera hanya menatap nanar punggung Johan yang keluar dari kelas. Ia masih mencintai laki-laki itu, andai saja waktu itu Shera tidak menerima ajakan Artur mungkin tidak Johan tidak akan salah paham. Matanya mulai berkaca-kaca namun Shera tidakan membiarkan cairan bening itu jatuh dari sarangnya. Karena gadis itu tidak mau dipandang lemah oleh orang lain.

Sementara Raniya yang menyaksikan pertengkaran mereka berdua mulai geram dengan Shera.

" kau menghancurkan acara makan kami " Raniya menunjuk Shera dengan penuh emosi,lalu menghentidakan kakinya dan berlalu meninggalkannya. Shera hanya menatapnya datar lantas kembali ketempat duduknya mungkin saat ini, Shera tidak akan kekantin. Kejadian tadi seakan sudah membuat perutya kenyang.

" wah ternyata si Airin kalau marah serem juga yah" Nando membuka suaranya, setelah tadi menyaksikan aksi anarkis dua wanita yang selalu ingin diganggunya. Nando tidak menyangka, Airin yang dingin bisa seberani itu melawan Shera, mengingat selama ini tidak ada yang berani melawan gadis itu.

" bodo amat bukan urusan gue" Alvin mendengus, lalu beranjak dari tempat duduknya. Kakinya melangkah menjauhi Nando, yang kini berteriak-teriak dibelakangnya. Nando menggelengkan kepalanya melihat Alvin yang berubah jiga membahas tentang Airin.

Alvin masih tidak menyangka Airin bisa seberani itu, tapi kenapa ada rasa kecewa saat Airin mengatidakan bahwa Airin hanya suka biasa terhadapnya. Alvin menggeleng pelan seakan membuang semua hal-hal aneh yang menari-nari dipikirannya, Alvin berusaha untuk tidak mengambil pusing masalah itu.

***

Angin sepoi-sepoi kini menyapu rambutnya yang panjang, membuat rambutnya menari-nari dengan indah disamping telinganya. Gadis itu hanya menatap datar gedung-gedung pencakar langit yang ada di depannya. Sementara seseorang yang bersamanya menunduk, menakap lekat beton yang kini dipijakinya, seakan ada hal menarik dibawah sana.

" Sampai kapan kita akan disini?" Airin melirik seseorang yang berada disampingnya.

" sampai bajuku kerinnglah, ini semua kan gara-gara kamu" Johan tersenyum

" kamu nyalahin aku? Ngapain nolongin kalo ujung-ujungnya nyalahin" Airin mendelik sebal, membuat Johan semakin gemas melihatnya.

"aku juga gak akan maju kalo kaki kamu gak bergetar, aku juga gak akan mau kerapihanku hilang, kalo gak lihat nyali kamu yang mulai menciut." Johan kini mulai mengangkat wajahnya mulai menikmati keindahan gedung-gedung pencakar langit yang terpangpang jelas di depannya, dengan senyum yang tidak pernah pudar, di raut wajah tampannya.

Bruuuuuuuuuuuuuuk Johan kaget saat melihat Airin bersimpuh disampingnya.

" Ahhh kamu benar Jo, kakiku lemas sekali bahkan aku tidak punya kekuatan berdiri sekarang" Airin hanya menatap tanganya yang kini meremas kuat bagian bawah roknya.

Johan tertawa melihat Airin yang kini hanya tertunduk lesu, gadis itu memang tidak pernah berubah dari dulu. Selalu saja pura-pura tegar di depan semua orang tapi nyatanya gadis itu menjadi alasan kekhawatiran Johan.

Johan berjongkok berusaha menyamakan posisinya dengan Airin,. Johan lantas tersenyum saat merapikan rambut yang menghalangi wajah cantik Airin.

Namun Johan tertegun saat ia berhasil menyelipkan rambut gadis itu dibelakang telinganya. Mata Johan membola, senyumnya yang tersungging dibibirnya kini memudar, dan hatinya serasa mencelos ,saat buliran bening jatuh tanpa permisi membasai pipi gadis mungil itu.

"hey kenapa nangis?" Johan menangkup kedua pipi Airin, ibu jarinya mengahpus Air mata, yang kini hanya meninggalkan jejak di pipi gadis itu.

Melihat Airin menangis adalah kelemahan terbesar Johan. Setiap tetes cairan bening yang lolos dari mata Airin adalah pedang yang dapat menyayat hatinya..

" Aku tidakut Jo, aku tidakut" Suara Airin terasa memekik, membuat Johan semakin khawatir melihatnya.

" Kenapa harus tidakut? Aku disini"

" Bagaimana tidak, kenapa sekolah disini semuanya serba salah aku bersama denganmu saja, seakan itu masalah besar buat mereka" emosi Airin terlampiaskan sekarang. Johan selalu menjadi tempat pelampiasan emosinya. Tapi itu lebih baik, dari pada harus melihatnya pura-pura tegar seperti tadi.

" Sejak kapan kamu seperti ini.? Biasanya kamu tidak peduli dengan apapun, yang kamu pedulikan selama ini hanya kita, kakak kamu dan Bunda. Kenapa kamu jadi seperti ini? Apa ini karena kejadian kemarin?" Johan mengutuk dirinya sendiri, ia keceplosan, bisa-bisanya Johan membahas Alvin dalam situasi seperti ini.

" Jangan bahas masalah itu" Jawab Airin tegas. Bagaimana tidak, jika Airin mendengar kata Alvin, Airin tidak akan bisa menahan untuk tidak mencintainya. Entah apa yang merasuki Airin sekarang, meski sejauh manapun Alvin berlari Airin akan tetap mengejarnya.

Johan memejamkan matanya menarik nafas berharap oksigen, yang membantunya bernafas sekarang, bisa membantu mencairkan suasana seperti ini.

" oke baiklah maaf aku salah, ayo kekelas istirahat sudah selesai" Johan menarik bahu Airin membawanya berdiri.

" Tapi baju kamu?"

" Baju ku kering, ayo cepat nanti rambut kamu bau matahari lagi" Johan menarik tangan Airin meninggalkan tempat itu.

Airin tersenyum. Johan selalu bisa mencairkan kebekuan hatinya,menghangatkan kedinginan jiwanya. Johan selalu bisa menjadi pelengkap saat Airin merasa ada yang kurang. Andai saja Alvin bisa sepeti Johan mungkin Airin akan menjadi seseorang yang paling bahagia di Jagatraya.




jangan lupa Vote and coment guys .

Am I Wrong (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now