“Kau sudah tua Dila! Kau harus tahu itu! Tak ada lagi waktu bermain-main dengan pekerjaan! Sudah saatnya kamu berada di rumah dan melayani suamimu!” Sekali hentakan, rasanya meja di hadapannya akan segera hancur.
Sungguh, Ayah kembali berada di luar kendali. Sementara Dila tetap membungkam mulutnya dan menutup rapat-rapat mulutnya. Tak menginginkan sesuatu yang buruk muncul dari dalam dirinya. Sebisa mungkin ia harus menahan perkataan kasar yang bisa keluar kapan saja.

Membuka matanya secara perlahan, ia bisa melihat amarah ayahnya yang menjadi-jadi. Mata merah itu benar-benar melambangkan sebuah keganasan dan kengerian tanpa ampun yang bisa dilemparkan oleh seorang ayah pada anak perempuan berandalnya. Meskipun sejak awal ia tahu bahwa akan ada konsekuensi besar yang harus ia tanggung, namun ia tak mengira akan menjadi sebesar dan seberat ini. Dila kembali menunduk dan duduk tegap, ia tak akan lagi menatap ayahnya. Karena itu akan menjadi penyulut keras dari amarah yang sebentar lagi akan sepenuhnya mengambil alih.

Aku bukanlah seorang perempuan yang akan tenang hanya menjadi ibu rumah tangga. Pikiranku yang negatif akan mengerubungiku jika aku tak menyibukkan diri dengan pekerjaan. Aku tidak  ingin jika akhirnya aku menyiksa seseorang yang akan menjadi pendamping hidupku.’

Itulah yang kini Dila ingin katakan. Namun karena kebiasaannya, Dila benar-benar tak bisa mengungkapkan secara gamblang dan tenang tentang apa yang dirinya inginkan. Ia tak ingin berkata seperti itu karena biasanya yang akan keluar dari mulutnya hanya berbentuk sebuah sindiran tajam penuh sarkas dan tak kenal ampun.

“Aku tak akan menjelaskan lebih jauh lagi, Ayah. Namun aku akan tetap pergi.”

Aku tak akan menjelaskannya karena aku tahu Ayah akan malu berat ketika mengetahui anak perempuan yang selalu diagungkannya ini tidak normal seperti kebanyakan orang.'

Lagi pula siapa yang ingin menjadi seorang Dila Maulin Sucipto yang memiliki tingkat insecurities paling tinggi dan selalu meragukan sesuatu hingga ketitik yang paling kecil sedikitpun.

“Apa?! Kau ingin kabur lagi huh?!”

Oops ia salah bicara.

“Lalu bagaimana hubunganmu dengan Rivan?!”

Ugh, ia pusing dan mual.

Ia tak suka mendengar seseorang menggunakan nada yang begitu tinggi dan penuh penekanan. Rasanya kepalanya akan segera meledak. Maka Dila hanya akan kembali menunduk dan menutup matanya.

PLAK!

Ia tersadar bahwa dirinya sudah terjerembap di lantai dengan pipi nya yang memerah menyakitkan dan ngilu. Telinganya berdenging tak nyaman dan kepalanya terbentur dinding begitu keras tanpa bisa ia hindari. Matanya buram, ia tahu bahwa itu bukanlah pertanda baik. Apapun yang akan muncul tak akan pernah baik untuknya.

Maka ia duduk bersimpuh di hadapan ayahnya lalu menunduk sekali lagi. Siap menerima hukuman yang setimpal karena telah mengecewakan –lagi dan lagi— ayahnya. Tak ada seorang pun yang membantunya. Ia tahu bahwa Ibu dan Denia bersembunyi takut-takut di balik tembok itu. Siapa yang berani menghadang ayahnya, bersiaplah untuk terpental cukup keras.

Ya, inilah kenyataan pahit yang tak seharusnya diketahui orang lain.

Inilah alasan ia lebih memilih tinggal di Jepang.

***


Dila membuka pintu utama rumahnya dan terburu-buru meraup kotak obat namun akhirnya memilih untuk melemparkan kotak obat tersebut. Logikanya bermain dan tak menginginkan dirinya untuk kembali mengonsumsi obat itu secara terus menerus.

“Lagi?!”

Lengkingan suara Lina mengalihkan perhatiannya dan menahan satu sisi tubuh Dila agar tak melukai dirinya sendiri.
“Fadli kebetulan berada dekat sini. Ia akan segera datang.”

Tanpa aba-aba Yuni mengambil alih sisi tubuh Dila yang lain sementara Airu mengambil paper bag.

Tak lama kemudian tubuh Dila melemas dan terkulai di atas lantai. Lina panik bukan main dan segera mengangkat tubuh Dila ke pangkuannya. Memeriksa adanya detak jantung yang walaupun lemah akan sangat dibutuhkan.

“Uhuk! Apa yang kau lakukan wanita tua?”

Dila memandang Lina dengan tajam. Tatapan yang belum pernah dilemparkan Dila pada Lina.

Atau mungkin ada baiknya kita sebut saja dia adalah Caroline.

“Caroline?”

***

A/N

My, my, 😢 Poor Dila.

Ayo ayo~ vote, comment, share, masukkan ke library and reading list kalian 🌸

See ya!

Warm regards,
Matsushina Miyura

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now