27. BAHAGIA BERAKHIR LUKA

39.3K 3K 178
                                    


Bibir Zahra tak berhenti menyunggingkan senyum. Setelah merasa tak enak badan, Zahra putuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Betapa bahagianya saat dokter mengatakan bahwa di rahim Zahra tumbuh janin yang baru berusia empat minggu.

Memang sejak kejadian di rumah mertuanya, Zahra sudah tidak lagi mengkonsumsi pil kontrasepsinya. Dia tidak peduli lagi jika Revan nantinya marah padanya. Dia hanya ingin membuktikan bahwa dirinya tidak mandul.

Zahra berniat akan memberi tahukan pada Revan nanti di rumah. Dia akan menjadikannya sebagai kejutan.

Meskipun Zahra memeriksakan kandungannya di rumah sakit milik Revan, Zahra yakin dokter yang memeriksanya tidak akan memberitahukannya pada Revan. Karena selain Fattan, dokter maupun suster di rumah sakit tidak ada yang tahu bahwa Zahra istri Revan.

Sepulangnya dari rumah sakit, entah kenapa Zahra ingin sekali belanja baju. Bukan baju yang biasa ia kenakan. Tetapi baju gamis dan beberapa kerudung. Ia ingin merubah penampilannya. Karena rasanya terlalu dini jika dia mengatakan ingin berhijrah.
Dengan mobilnya, ia melaju ke sebuah pusat perbelanjaan di kotanya. Di dalam mobil, tak hentinya ia menyenandungkan lagu yang tengah diputarnya.

***

Sorenya, Revan pulang dengan mobilnya. Saat ini, Agni sudah tidak lagi dinas di rumah sakit. Selain kandungannya yang memang lemah, mertuanya juga melarangnya. Tiba di rumah, Revan langsung disambut istri keduanya itu.

"Zahra belum pulang?" tanya Revan karena tidak melihat mobil Zahra terparkir di garasi.

"Belum, Mas ... nggak bareng memangnya?"

"Dia sudah pergi sejak jam makan siang."

"Ke rumah bundanya mungkin ... memang nggak pamit?"

"Pas dia pergi, aku lagi di ruang operasi."

"Kan bisa kirim pesan, umur makin tambah, kok kelakuan makin minus."

Selalu seperti itu, jika Zahra melakukan kesalahan. Revan bukannya diam, pernah ia menegur Agni, namun akhirnya berimbas pada kandungannya. Karena itulah ia sekarang memilih diam. Ia hanya meminta Zahra agar lebih bersabar menghadapi Agni. Madu sekaligus kakak sepupunya.

"Assalammu'alaikum...," ucap Zahra begitu sampai di rumah.

Revan dan Agni yang sedang bersantai di ruang tengah menjawab salam Zahra. Zahra menghampiri mereka, kemudian mencium punggung tangan mereka bergantian.

"Dari mana saja kamu?" tanya Agni dengan nada sedikit sinis.

"Abis belanja, Mbak...."

"Kamu tahu? Haram hukumnya bagi istri pergi tanpa izin suami!"

"Maaf, Mbak...."

"Maaf. Maaf. Minta maaf sama suami kamu!"

"Sudah, sudah ... mandi dulu, Ra ... biar seger. Capek banget kamu kayaknya," ucap Revan menengahi.

"Iya, Mas. Maafin Zahra ya, Mas...."

"Iya, sudah sana...."

Zahra mengangguk kemudian meninggalkan Revan dan Agni. Agni hanya bisa mendengus sebal. Karena lagi-lagi Revan terkesan membela Zahra.

***

Selesai mandi, Zahra tidak langsung keluar dari kamarnya. Ia memandangi testpack yang menunjukkan dua gari merah. Senyum. Hanya itu yang dilakukan Zahra sedari tadi.
Sementara Revan, ada di kamarnya bersama Agni.

Semenjak sebulan terakhir, Agni memang lebih manja. Revan seolah dimonopoli olehnya. Tak rela memang, tetapi apa yang bisa dilakukan Zahra.

Saat ini, Agni sedang duduk menselonjorkan kaki di atas ranjang. Dengan badan ia senderkan pada kepala ranjang. Revan tiduran dengan paha Agni sebagai bantalnya.

"Mas...."

"Hm?"

"Apa Mas bahagia?"

"Tentu bahagia. Kenapa memangnya?"

"Apa Mas tidak ingin menceraikan Zahra?" Revan menegang sesaat.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Revan.

"Jujur, aku ingin memiliki Mas seutuhnya. Aku ingin jadi satu-satunya."

"Apa kamu tidak bahagia?"

"Bukannya tidak bahagia. Aku bahagia. Tapi aku tidak bisa mengontrol rasa kesal dan cemburuku."

"Bagus dong kalo kamu cemburu. Berarti kamu cinta banget sama aku."

"Apalagi Mas sekarang lebih membela Zahra daripada aku."

"Kata siapa? Itu cuma perasaan kamu saja."

"Buktinya tadi...."

"Cuma perasaan kamu saja, Sayang...."

"Mas."

"Hm?"

"Kok Zahra nggak hamil-hamil ya, Mas?"

"Dia minum pil KB."

"Kenapa? Apa dia nggak mau hamil?"

"Bukan dia yang nggak mau hamil, aku yang suruh."

"Kenapa?"

"Dulu, pas aku sama kamu belum menikah aku suruh dia buat tunda kehamilan. Karena saat itu, aku hanya ingin punya anak dari kamu, wanita yang aku cintai."

"Mas ngomong kayak gitu ke dia?"

"Ya nggak, Mas bilang ke dia biar dia bisa fokus ke skripsinya. Karena saat itu bertepatan sama dia yang mau skripsi."

"Sampe sekarang Zahra masih mengkonsumsi itu?"

"Aku nggak tau. Kami sudah tidak pernah membahas lagi."

"Kalau sekarang dia hamil, apa Mas akan menerimanya?"

"Tentu. Kenapa nggak," jawab Revan mantap. Ada sorot kekecewaan di mata Agni.

***

Zahra

Hari ini aku sangat bahagia. Aku dinyatakan hamil. Akhirnya ... memang setelah kejadian di rumah mama mertuaku, aku putuskan untuk berhenti mengkonsumsi pil KB. Aku tidak peduli jika Mas Revan marah nantinya. Harusnya sih dia bahagia sepertiku.

Setelah memastikan ke dokter, entah kenapa aku ingin sekali belanja. Aku ingin sekali membeli gamis. Ingin merubah penampilanku. Sebagai calon ibu, tentunya aku harus mencontohkan yang baik untuk anakku bukan.

Aku pulang agak terlambat. Sesampainya di rumah, aku langsung disambut oleh kata-kata sinis Mbak Agni. Ya, aku sudah tidak heran lagi. Semenjak resmi menjadi istri Mas Revan, Mbak Agni menjadi seperti itu. Terlebih lagi, ibu dan kedua adik Mbak Agni masih mendiamkannya, karena kecewa dengan perbuatannya.
Tak apa Mbak Agni seperti itu. Yang penting sekarang Mas Revan sudah tidak lagi berat sebelah.

Selesai mandi, aku langsung mengenakan salah satu gamis yang aku beli tadi. Aku ingin menunjukkannya pada Mas Revan. Aku juga ingin memberi tahunya tentang kehamilanku. Tapi Mas Revan tak kunjung ke kamarku. Pasti di kamar Mbak Agni. Memang akhir-akhir ini, Mbak Agni jadi lebih manja. Mood-nya pun gampang sekali berubah.

Aku menuruni tangga, menuju kamar Mbak Agni. Pintunya terbuka sedikit. Dari tempatku, aku dapat melihat mereka yang terlihat sangat harmonis. Aku iri. Tapi kenapa aku harus iri, mungkin Mbak Agni juga merasakan apa yang aku rasakan saat memergokiku bersama Mas Revan.

Aku mendekat. Semakin dekat. Sampai samar-samar aku mendengar apa yang mereka bicarakan.

"... aku hanya ingin punya anak dari kamu, wanita yang aku cintai."

"Mas ngomong kayak gitu ke dia?"

"Ya nggak, Mas bilang ke dia biar dia bisa fokus ke skripsinya. Karena saat itu bertepatan sama dia yang mau skripsi."

"Sampe sekarang Zahra masih mengkonsumsi itu?"

Apalagi ini ya Allah ... aku tidak salah dengar, kan. Setelah mendengar itu, aku tak mendengar apa-apa lagi. Karena aku putuskan untuk berlari kembali ke kamarku. Satu persatu air mataku jatuh. Sungguh. Saat ini aku tak ingin melihat kedua orang munafik itu.

TBC.

📝31.05.17

Repost II, 05.08.18
Repost, 24.03.24

Cinta SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang