22. SALAH PAHAM

37.5K 2.7K 121
                                    


"Lho ... Bang Fattan?"

"Zahra?"

"Abang lagi ngapain di sini?"

"Aku memang tugas di sini, kalo kamu ngapain di sini?"

"Abis ketemu sama suami."

"Oh ... suami kamu dokter? Bakal jadi pasangan dokter dong, ya...."

Zahra tersenyum. Fattan sama sekali tidak menduga kalau Revan-lah yang dimaksud Zahra.

"Mumpung ketemu, ngopi, yuk!" ajak Fattan.

"Em...." Zahra tampak berpikir. "boleh juga, tapi jangan lama-lama, ya!"

"Iya, Abang kan juga harus periksa pasien."

Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju kantin. Setelah memesan kopi, mereka mengobrol. Apa pun mereka bicarakan. Mem-flashback masa lalu, saat Zahra ABG bertemu dengan dokter yang mampu membuat hatinya tak menentu. Tetapi itu dulu. Sampai dua bulan sebelum pernikahannya dengan Revan. Karena setelah itu, Revan mampu menggantikan posisi Fattan di hati Zahra.
Fattan dan Zahra duduk bersisian. Tanpa canggung, Fattan merangkul Zahra. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Mata itu adalah milik Revan yang saat itu ingin memesan kopi ke kantin. Rahang Revan mengeras, tangannya mengepal tanda dia benar-benar marah. Cemburu. Itu yang Revan rasakan. Revan tidak tahu jika lelaki yang sedang mengobrol dengan istrinya adalah Fattan, sepupunya. Karena posisi Fattan dan Zahra yang duduk membelakangi pintu kantin. Revan kehilangan selera untuk minum kopi. Dia lantas kembali ke ruangannya.

Setelah menghabiskan kopinya, Zahra memutuskan untuk pamit pulang pada Fattan. Fattan mengantar Zahra sampai ke parkiran rumah sakit.

***

Sepulang dari rumah sakit, Zahra terlihat bahagia. Senyum terus terukir di bibirnya. Hal itu tidak luput dari perhatian Agni.

"Kenapa kamu, Ra? Bahagia banget kayaknya ... abis menang lotre yah?!"

"Ih, Mbak ada-ada aja, biasa aja kok, Mbak."

"Apanya yang biasa aja? Kelihatan banget sumringah tuh muka."

"Emang iya, ya, Mbak?" Zahra semakin salah tingkah. "ehm, Mbak siap, kan, ketemu sama mamanya Mas Revan?" tanya Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Siap dong, Ra, itu yang Mbak tunggu-tunggu. Mbak pengen jadi istri resmi Mas Revan. Nggak apa-apa istri kedua. Yang penting status Mbak sama anak Mbak jelas."

Jawaban Agni sontak membuat Zahra terdiam. Senyum yang dari tadi terukir di bibir Zahra, tiba-tiba menghilang begitu saja. Agni menyadari itu, tapi dia berpura-pura tidak tahu.

***

Pukul empat sore mobil Revan memasuki pelataran rumahnya. Agni yang mendengar deru mobil suaminya segera menuju ke pintu untuk menyambutnya. Begitu juga dengan Zahra. Senyum yang sempat hilang sudah kembali ke tempatnya. Ia tak ingin menyambut kepulangan suaminya dengan wajah murungnya.

Turun dari mobil, Revan segera menghampiri istri-istrinya. Agni mencium punggung tangan Revan lalu mengambil alih tas dokter Revan untuk dibawa ke dalam. Namun, setelah itu Revan merangkul pinggang Agni mesra lalu mengajaknya ke dalam tanpa memedulikan keberadaan Zahra. Agni yang awalnya ragu kemudian menurut saja pada suaminya.

Zahra hanya diam kebingungan dengan sikap Revan. Salah apa lagi aku? Batin Zahra. Setelah itu ia menyusul Agni dan Revan ke dalam rumahnya.

Revan dan Agni masuk ke kamarnya. Setelah itu menutup pintunya rapat. Zahra hanya bisa menatap nanar pada pintu berwarna cokelat itu. Kemudian Zahra berlari menuju kamarnya.

Di dalam kamar, Zahra merosotkan tubuhnya di belakang pintu. Sesak ia rasakan. Entah kapan perjuangan dan pengorbanannya akan berbuah manis. Namun, entah kenapa hatinya selalu terdorong untuk tidak menyerah pada keadaan.

***

Zahra masih berdiam diri di belakang pintu kamarnya. Walaupun jam dinding sudah menunjuk ke angka tujuh. Kamarnya pun ia biarkan dalam keadaan gelap. Hanya cahaya dari lampu jalanan yang masuk melalui jendela kamarnya yang gordennya masih terbuka, yang mampu menerangi kamar itu.
Dorongan kuat dari luar kamar membuat Zahra hampir terjerambab andai Zahra tidak menyeimbangkan tubuhnya. Zahra terkejut karena Revan terlihat begitu murka. Namun, untuk sekadar bertanya ada apa dengan suaminya, Zahra tak berani melakukannya. Dengan kasar, Revan mencengkeram lengan atas Zahra. Membuat Zahra berdiri. Sambil sesekali meringis kesakitan.

"Apa yang kamu lakukan di kantin rumah sakit?" tanya Revan sambil menahan emosinya.

"Apa maksud Mas?"

"Apa pantas seorang istri diam saja saat ada lelaki yang bukan mahramnya merangkulnya seolah ada hubungan di antara mereka?"

"Aku nggak ngerti apa maksud Mas."

"Jangan berpura-pura polos! Siapa laki-laki itu?"

"Laki-laki yang mana?"

"Laki-laki di kantin rumah sakit. Laki-laki yang dengan santainya merangkulmu, mengusap kepalamu, juga menyentuh wajahmu!"

Jawaban Revan justru membuat Zahra tersenyum.

"Aku marah padamu, kenapa kamu tersenyum?!"

"Mas cemburu?"

"Aku suamimu, wajar kalau aku cemburu."

"Cemburu tanda cinta lho, Mas."

"Wajar juga kalau aku mencintaimu, karena aku suamimu."

"Alhamdulillah...."

"Kenapa alhamdulillah?!"

"Akhirnya perjuanganku nggak sia-sia. Akhirnya perasaanku terbalaskan."

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Zahra!"

"Pertanyaan yang mana?"

"Ck, siapa laki-laki itu?!"

"Cuma teman lama, Mas."

"Tapi kenapa seintim itu?"

"Kita sudah seperti adik kakak."

"Aku nggak peduli, mulai sekarang kamu harus jaga jarak sama semua laki-laki. Siapa pun itu. Kecuali Ayah!"

"Mulai posesif ceritanya," goda Zahra pada Revan.

"Kamu istri aku, wajar kalau aku posesif."

"Iya deh iya ... yang lagi ngewajar-wajarin semuanya."

"Bisa diam nggak sih, kamu!"

"Yah la-- hmmmppp" Zahra tak bisa melanjutkan ucapannya. Karena Revan menempelkan bibirnya di bibir Zahra. Memagutnya.

"Tolong, jangan bikin aku cemburu lagi, kamu sukses buat aku nggak konsen hari ini."

"Tapi nggak terjadi kesalahan, kan?"

Revan menggeleng.

"Mas beneran cemburu sama aku?"

Revan tak menjawabnya. Ia membawa telapak tangan Zahra ke dadanya. Ia letakkan di sana. Zahra dapat merasakan detak jantung Revan yang tak seperti biasanya.

"Kamu dapat merasakannya?"

Zahra mengangguk.

"Ini yang sekarang aku rasakan jika bersamamu. Jika orang bilang ini tanda cinta. Maka aku bisa mengambil kesimpulan bahwa aku memcintaimu. Dan jika kata orang cemburu tanda cinta, maka aku katakan sekali lagi aku cemburu. Karena aku mencintaimu."

Ucapan Revan membuat mata Zahra berkaca-kaca.

"Kenapa menangis?"

"Ini tangis bahagia, Mas," jawab Zahra kemudian memeluk Revan erat.

Begitu juga dengan Revan.
Zahra melepas pelukannya. Menatap dalam ke manik mata Revan.

"I love you, Mas."
"I love you too, Zahra...."

TBC.

CINTA SENDIRI juga bisa ditonton di youtube dengan judul IJAB YANG SALAH YA, Teman-teman....

18.05.17
Repost II, 03.08.18
Repost, 18.03.24

Cinta SendiriWhere stories live. Discover now