14. KECEWA ( LAGI )

39K 2.6K 88
                                    


"Apa kau bahagia?" Setelah lama terdiam, akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Fattan.

"Ya, aku bahagia," bohong Zahra.

"Jika bahagia, kenapa kamu menangis?"

"Aku menangis karena kesal. Kenapa Abang seenaknya saja datang dan pergi dari hidupku?"

"Maafkan Abang. Apa kamu mencintai suamimu?"

Zahra memandang Fattan. Kemudian menjawab pertanyaan Fattan.

"Ya, aku sangat mencintainya," jawabnya dengan mantap.

Zahra memang tidak berbohong. Dia mencintai suaminya sekarang. Dia sangat mencintai Revan. Cinta yang membuatnya buta. Bahkan tuli untuk hanya sekadar menyadari kebenaran yang ada.

Jika Fattan bertanya tahun lalu, pasti dengan sangat yakin Zahra menjawab bahwa dia sangat mencintai Fattan.

"Baiklah, Abang ikut bahagia jika kamu bahagia. Tapi, bolehkah Abang memelukmu?"

Zahra mengangguk. Fattan membawa Zahra ke dalam pelukannya. Setitik air mata memaksa untuk jatuh dari mata Fattan. Tetapi Fattan buru-buru menghapusnya. Dia tidak ingin Zahra tahu kalau dirinya menangis.

Setelah melepas pelukannya, Zahra melihat jam di tangannya. Hampir magrib. "Aku harus pulang, Bang ...."

"Boleh aku mengantarmu?"

"Tapi aku bawa mobil."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan mengawalmu dari belakang."

"Terserah Abang saja."

Setelah itu mereka masuk ke rumah untuk pamit kepada orang tua Zahra. Fattan merangkul pundak Zahra, seperti empat tahun yang lalu, sebelum mereka berpisah. Bagi Fattan, tak apa dia tak bisa memiliki Zahra. Yang penting Zahra bahagia.

Orang tua Zahra tersenyum melihat Fattan dan Zahra. Dalam benak mereka berandai, seandainya saja Zahra belum menikah pasti mereka akan merestui anaknya menikah dengan Fattan. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Bisa saja mereka meminta Zahra bercerai, tetapi mereka sadar, bukan kapasitas mereka mencampuri urusan rumah tangga putrinya.

Setelah pamit, Zahra meninggalkan rumah orang tuanya, dengan Fattan yang mengekorinya dari belakang. Sesampainya di depan gerbang rumahnya, Zahra menghentikan mobil. Begitu juga dengan Fattan.

"Abang mau mampir?" tanya Zahra.

"Kapan-kapan saja. Yang penting aku sudah tahu rumahmu."

"Ok. Abang hati-hati ya, di jalan."

Fattan mengangguk dengan senyumnya. Setelah Zahra memasuki pelataran rumahnya, Fattan juga berlalu dari jalanan depan rumah Zahra dan Revan. Dia akan tetap tersenyum, meskipun hatinya mungkin saat ini benar-benar hancur.

Zahra memasukkan mobilnya ke garasi. Mobil Revan sudah terparkir di sana. Sebenarnya saat ini, Zahra sangat enggan bertemu dengan Revan. Tetapi dia juga harus tahu, apa kejutan yang akan diberikan Revan.

Dengan ragu, Zahra memegang gagang pintu. Otaknya masih saja berpikir, maju atau mundur. Akhirnya dia memilih untuk mendorong pintu. Tiba-tiba saja, mawar merah muncul dari balik pintu. Tanpa Zahra tahu, Revan langsung bersembunyi di belakang pintu saat mendengar mobil Zahra masuk ke pekarangan rumah mereka.

"Maafkan aku yang terlalu sibuk, sampai aku tidak datang di acara paling penting dalam hidupmu," ucap Revan.

Zahra diam mematung. Hatinya kesal. Otaknya menyuruhnya agar dia bersikap dingin pada suaminya untuk sementara. Paling tidak sampai suaminya menjelaskan semuanya. Namun, lagi-lagi kesinkronan seakan tak pernah terjadi antara otak dan hati wanita itu. Gerakan tangannya yang menerima bunga mawar itu, seakan memberi kesan bahwa Zahra telah memaafkan Revan.

Cinta SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang