16. TERLUKA

41.3K 2.9K 97
                                    


Sepulangnya dari rumah sakit, Zahra mengurung diri di kamar. Sengaja ia tak memberitahu orang tuanya tentang dirinya yang baru saja dari rumah sakit. Dia tak mau orang tuanya khawatir.

Tangisan pilu menggema di kamarnya. Baru kali ini dia merasakan sakit yang teramat sakit. Bahkan rasa sakit saat kakinya patah tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang dia rasakan saat ini. Sebenarnya bisa saja dia menggugat cerai Revan, tetapi dia adalah orang yang berprinsip takan pernah ingkar janji. Apalagi janjinya kepada orang yang telah tiada. Ayah mertuanya.

Zahra yang memang memiliki sifat periang, kembali ke sifat aslinya, setelah dia puas menumpahkan air matanya. Segera dia membersihkan wajahnya. Kemudian, keluar dari kamar menuju kamar tamu di lantai bawah untuk dibersihkan. Setelah Revan pulang, dia akan meminta agar Agni dibawa ke rumah itu. Tak mungkin dia membiarkan Agni tinggal sendiri dalam keadaan hamil. Bisa saja Revan tinggal bersama Agni, tetapi bagaimana reaksi keluarganya jika tidak menemukan Revan saat berkunjung ke rumahnya.

Sedih, kecewa, bahkan apa yang Zahra rasakan lebih dari itu. Membayangkan hidup bersama madunya dalam satu atap. Terlebih lagi suaminya hanya mencintai madunya. Madunya yang tak lain adalah kakak sepupunya. Tetapi apa yang bisa dia lakukan, selain menerima semuanya dengan lapang dada.

Kamar tamu telah rapi. Sekarang dia tinggal menunggu Revan pulang. Semuanya memang harus jelas. Meskipun sedikit banyak Zahra telah mengetahui yang sebenarnya, tetapi memang Revan-lah orang yang paling berhak dan wajib menjelaskan semuanya.

Pukul lima sore Revan pulang. Zahra menyambutnya. Seolah tak ada yang terjadi, Zahra bersikap seperti biasa. Tidak seperti saat berada di rumah sakit.

"Mas mau mandi? Biar aku siapkan airnya."

"Kita harus bicara, Zahra."

"Atau mau minum? Biar aku siapkan?" Bukannya menjawab, Zahra mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Zahra ...."

"Oh, iya! Kapan Mbak Agni pulang? Aku sudah siapkan kamar loh, Mas."

"ZAHRA! Kita harus bicara!"

Zahra bergeming mendengar Revan membentaknya.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud membentakmu."

Air mata yang dari tadi ditahannya, akhirnya mengalir di pipi Zahra.

"Aku tahu, Mas ... aku tahu. Bahkan sejak hari pertama pernikahan kita." Zahra terisak.

Revan kaget mendengarnya.

"Aku melihat kalian berciuman. Bahkan aku mendengar apa saja yang kalian bicarakan. Dan aku tahu sebelum bercinta denganku, suamiku melakukannya dengan wanita lain." Zahra makin terisak. Bahkan tangisnya semakin memilukan.

"A--apa kau mengikutiku?" tanya Revan terbata.

"Apa pentingnya pertanyaan itu sekarang? Tak perlu aku mengikutimu. Karena wanitamu meninggalkan jejak cintanya di punggungmu. Mas pikir, bagaimana perasaanku saat itu?"

"Ma--" Sebelum Revan melanjutkan ucapannya, Zahra memotongnya.

"Kenapa harus selalu kata itu yang Mas ucapkan? Mas tahu, setelah meninggalnya Papa, aku pikir Mas sudah tidak berhubungan lagi dengan kakak sepupuku. Tapi aku salah. Bahkan Mas tak sudi lagi memakan masakanku, karena setiap hari dia selalu memasak untuk Mas. Hari itu Allah telah membuka mataku. Bahwa selama ini aku telah salah menilai suamiku. Karena tak mungkin dua orang berlawanan jenis berpelukan penuh cinta jika mereka tak ada hubungan.

Hari itu juga aku baru tahu kalau suamiku memanggil wanita lain dengan panggilan sayang. Bahkan terhadap istrinya sendiri pun tak pernah. Aku selalu memaafkanmu. Aku selalu menunggumu menjelaskan yang sebenarnya, dengan harapan semua tak seperti yang aku pikirkan."

Revan terdiam.

"Kamu anggap aku apa, Mas? Bahkan seisi rumah sakit pun tahu bahwa Mbak Agni istri Mas. Di saat hari pentingku pun, Mas lebih memilih bersama istri muda Mas, Meresmikan usaha bersama kalian. Mas pikir bagaimana perasaanku? Setiap kesalahan yang Mas lakukan selalu dengan mudah aku maafkan. Kesempatan selalu dengan mudah aku kasih ke Mas. Tapi balasannya apa?

Mas yang memberi gaun untukku, Mas yang menyuruhku menunggu, Mas juga yang melarangku membawa mobil. Tapi Mas juga yang membiarkanku menunggu sampai restoran tutup. Bahkan untuk mengabariku saja Mas tak sempat." Zahra menghela napas. Air matanya diusapnya dengan kasar. "Aku sudah terlalu banyak bicara. Jika Mas ingin membawa Mbak Agni ke sini, silakan. Aku sudah bersihkan kamar tamu. Tapi jika Mas menginginkan Mbak Agni untuk menempati kamar atas, aku akan pindah." Zahra berniat untuk meninggalkan Revan. Namun, Revan menahannya.

"Maafkan aku ... kita bisa bicarakan baik-baik ... kita bicarakan selanjutnya kita akan bagaimana. Dan kamu juga belum tahu, kan, bagaimana aku dan Rara bisa menikah?"

"Bagiku itu tidak terlalu penting. Aku akan mendengarkan penjelasan Mas, tapi tidak sekarang," jawab Zahra kemudian melepaskan tangan Revan. Dia berlari menaiki tangga.

"Tapi kamu harus tahu kalau Ayah-lah yang menikahkan kami."

Perkataan Revan sontak membuat Zahra berhenti. Namun, tetap tidak berbalik.

"Kalaupun Ayah yang menikahkan kalian, aku tahu pasti Ayah punya alasan kuat kenapa beliau mau menikahkan menantunya dengan keponakannya." Setelah mengucapkan itu, Zahra masuk ke kamar kemudian membanting pintu kamar.

Revan yang masih berdiri di tempatnya, mengacak rambutnya frustrasi. Karena baru kali ini Zahra begitu marah padanya.

Sementara di kamar, Zahra kembali menangis. Sebelum Revan pulang, dia sudah persiapkan hatinya untuk mendengarkan penjelasan Revan. Tetapi begitu melihat Revan, entah kenapa luka itu benar-benar terasa. Sehingga dia merasa tak sanggup jika harus mendapatkan luka yang lebih dari apa yang dia rasakan sekarang.

TBC.
Cerita ini dibuat tahun 2016-2017. Yang nggak sabar baca versi lengkapnya, bisa langsung tonton di YouTube Rini Ka dengan judul Ijab yang Salah 🤗❤

📝24.04.17
Repost II, 25.07.18
Repost, 15.01.24

Cinta SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang