15. TERUNGKAP

42.7K 2.9K 84
                                    

Dengan sigap Fattan menggendong tubuh pingsan Zahra ke mobilnya. Dia segera membawa Zahra ke rumah sakit milik keluarga besarnya. Sesampainya di rumah sakit, Fattan langsung memanggil suster. Seorang suster langsung datang dengan mendorong ranjang pasien Fattan meletakkan Zahra di ranjang tersebut. Seorang dokter langsung menginstruksikan agar Zahra segera dimasukkan ke UGD. Fattan menunggu dengan gelisah. Tak lama dokter tadi keluar dari ruang UGD.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Fattan.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pasien hanya telat makan. Kemungkinan punya riwayat penyakit Maag."

"Boleh saya melihatnya, Dok?"

"Sebentar lagi akan dibawa ke ruang perawatan. Anda bisa menemuinya di sana."

"Baiklah, Dok, terima kasih."

"Sama-sama." Kemudian dokter itu berlalu dari hadapan Fattan.

Fattan memang salah satu keluarga pemilik rumah sakit. Akan tetapi, saat pertama menjadi dokter, dia magang di rumah sakit lain. Karena itulah dokter dan suster rumah sakit itu tidak mengenali Fattan.

Setelah dibawa ke ruang perawatan, Fattan segera menemui Zahra. Dia duduk di samping ranjang. Sambil memandangi wajah Zahra yang masih tertidur karena pengaruh obat.

"Apa yang terjadi? Kenapa malam-malam begini kamu bisa sampai sendirian di jalanan?"

Jujur saja Fattan tak rela orang yang dicintainya di perlakukan seperti itu. Jika memang benar suami Zahra-lah yang menyebabkan Zahra sendirian di jalanan malam-malam.

Fattan putuskan untuk memejamkan matanya sambil menggenggam tangan Zahra. Kepalanya dia letakkan di samping tangan Zahra yang digenggamnya. Fattan tidak berniat untuk menghubungi orang tua Zahra. Karena dia tidak ingin mereka khawatir. Lagi pula tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaan Zahra. Fattan juga sama sekali tidak berniat untuk mencari tahu nomor ponsel suami Zahra. Entahlah, dia merasa ada yang tidak beres dengan rumah tangga Zahra.

***

Zahra mencoba membuka matanya. Saat cahaya matahari mulai mengintip di balik gorden jendela ruang rawatnya. Zahra memperhatikan sekitar. Rumah sakit? Merasa ada yang bergerak di tangannya, Fattan mencoba membuka matanya yang masih terasa berat.

"Hai, sudah bangun?" tanya Fattan dengan suara beratnya.

"Abang?! Kenapa aku ada di sini?"

"Semalam kamu pingsan."

"Pingsan?"

Fattan mengangguk.

"Kenapa aku bisa pingsan? Dan kenapa Abang bisa di sini?"

"Kamu telat makan. Maag kamu kambuh. Dari mana kamu semalam?" Bukannya menjawab semua pertanyaan Zahra, Fattan malah balik bertanya. Yang hanya ditanggapi Zahra dengan mengerutkan alisnya. "Aku menemukan kamu sendirian di halte tengah malam. Saat itu aku habis bertemu dengan teman lamaku. Di mana suamimu? Apa ini perbuatan suamimu?"

"Kenapa Abang berpikiran seperti itu?"

"Mana ada suami yang membiarkan istrinya sendirian di jalanan tengah malam?"

"Tapi suamiku tidak--"

"Lantas?"

"Sudahlah, Bang, aku tidak ingin membahasnya."

"Kalau begitu, mana nomor ponsel suamimu? Biar aku telepon dia. Atau aku hubungi om dan tante?"

"Tidak perlu. Biar nanti aku saja yang menghubungi."

"Permisi ...." Seorang suster mengantarkan sarapan untuk Zahra. "Selamat pagi, Mbak Zahra."

"Pagi, Sus. Sekarang lebih baik Abang ke kantin sana nyari sarapan. Paling tidak, ngopi-ngopi."

Cinta SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang