21. BELAJAR MENCINTAIMU

Start from the beginning
                                    

"Iya, Mi...."

***

Di rumah sakit, Revan tidak dapat konsentrasi pada pekerjaannya. Dia terus teringat Zahra yang pagi tadi mendiamkannya. Padahal mereka masih baik-baik saja sebelum keluar kamar. Akhirnya Revan mengirim pesan singkat untuk Zahra.

Revan
Kamu di mana?

Tak lama Zahra membalasnya.

Zahra
Masih sama teman Mas

Revan
Bisa ke rumah sakit sekarang?

Zahra
Ada apa? Mas kenapa?

Revan
Tidak ada apa-apa. Hanya ingin bertemu

Zahra
Baiklah

Revan
Aku tunggu, love you

Zahra tidak membalasnya. Zahra merasa aneh dengan sikap Revan. Bukankah tadi pagi Revan bilang kalau dia hanya bersikap sebagai suami, tapi kenapa melalui pesannya dia mengatakan cinta? Hal yang tak pernah Revan lakukan. Bersandiwarakah dia?

Tidak butuh waktu lama, Zahra telah sampai di rumah sakit. Tidak seperti waktu itu, kali ini Zahra langsung ke ruangan Revan, tanpa bertanya pada suster. Di depan pintu, Zahra mengetuk pintu ruangan Revan. Setelah mendapat perintah masuk, Zahra langsung masuk ke dalam. Kemudian menutup pintu kembali. Tanpa disuruh, Zahra duduk di sofa yang disediakan khusus jika Revan ada tamu.

"Ada apa sih, Mas?"

Revan tersenyum, kemudian menghampiri Zahra. Dan duduk di samping Zahra.

"Kamu kenapa lagi, sih?" tanya Revan sambil memperhatikan Zahra yang sedang memainkan ponselnya.

"Kenapa apanya?"

"Marah sama aku, ya?"

"Nggak ... siapa juga yang marah sama Mas."

"Kenapa memdiamkanku?"

"Siapa juga yang mendiamkan Mas."

"Bukan cuma mendiamkan, sekarang malah jutek."

"Apa sih, Mas?" ucap Zahra sambil menyingkirkan tangan Revan yang membelai pipinya.

"Tuh, kan ... sekarang kamu jadi suka ngambek ... kamu nyesel ya mengizinkan Rara tinggal sama kita?"

"Apa hakku, sih, Mas ... itu kan rumah kamu, terserah kamu mau ajak siapa saja untuk tinggal sama kita."

"Kok ngomongnya gitu?"

"Apa aku nyerah aja ya, Mas?"

"Nyerah apanya?"

"Aku capek, Mas, berjuang sendiri. Gimana aku bisa buat kamu cinta sama aku, sementara kamu nggak mau buka hati kamu buat aku!"

"Oh, ya? Kata siapa?"

"Aku dengar semuanya."

"Dengar? Dengar apa?"

"Pembicaraan Mas dan Mbak Agni tadi pagi."

Revan menghela napas. "Kamu sudah salah paham."

"Apanya yang salah paham?"

"Apa yang kamu dengar, tidak semuanya benar."

"Maksud Mas?"

"Sini...." Revan meminta Zahra agar duduk miring di atas pahanya. Dengan jari telunjuknya, Revan membawa wajah Zahra agar menghadapnya. Mata mereka saling menatap. "Dengerin aku, aku udah janji sama kamu, aku akan belajar mencintai kamu. Meskipun kamu tahu aku nggak bisa mencintai kamu sepenuhnya, tapi aku akan mencoba untuk bersikap adil ke kalian. Masalah tadi pagi, bukan maksud aku buat nyakitin kamu. Aku juga heran sama sikap Rara akhir-akhir ini, mungkin karena hormon kehamilannya, makanya dia sedikit berubah. Aku hanya mencoba nenangin dia, biar nggak ada perasaan benci dan ingin menjatuhkan diantara kalian," jelas Revan sambil terus mengusap kepala Zahra. Kali ini Revan memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Apa bisa dipercaya?" tanya Zahra.

"Pasti bisa. Karena setiap orang pasti bisa berubah, kan," jawab Revan kemudian mencium pipi Zahra yang membuat wajahnya merona. "Ih ... kenapa nih pipi, kok kayak kepiting rebus?!"

"Apaan, sih, Mas?!"

"Aku kangen kamu yang agresif," bisik Revan tepat di telinga Zahra yang refleks membuat Zahra memukul lengan Revan.

"Aku serius, Sayang...."

"Sayang?!"

Revan mengangguk.

"Yang tadi gimana?"

"Yang tadi apa?"

"Aku kangen kamu yang agresif."

"Halah ... sekarang aja ngomong begitu, waktu itu aja ngatain aku katanya a--mphhh."

Sindiran Zahra berhenti karena Revan membungkamnya dengan bibirnya. Entah kenapa sekarang Revan sangat menyukai itu, mungkin karena walaupun sedikit, Revan telah merasakan getar itu saat bersama Zahra. Zahra membalas ciuman Revan. Ciuman mereka mulai menuntut. Namun, ciuman itu mereka hentikan di saat ketukan pintu terdengar. Napas mereka terengah. Zahra turun dari pangkuan Revan. Sambil menyetabilkan napasnya, Revan berjalan ke arah pintu. Lalu membukanya. Ternyata seorang suster yang mengingatkan agar Revan jangan melupakan jadwal operasinya hari ini. Setelah suster itu pergi, Revan kembali masuk ke dalam menghampiri Zahra.

"Yah, ke-pending ...."

"Apanya yang ke-pending?"

"Yang tadi," jawab Revan sambil mengerling menggoda.

"Ih, kok mas jadi genit, sih?!"

"Kan genit sama istri sendiri, wajar, 'kan?!"

Zahra
menanggapinya hanya dengan memanyunkan bibirnya.

"Ngundang banget, sih, bibirnya ...."

"Udah dong, Mas ... jangan godain aku mulu! Hm, Mas!"

"Kenapa?"

"Kapan Mas kasih tahu Mama soal Mbak Agni?"

"Nunggu Mama pulang dari luar kota."

"Lebih cepat lebih baik, Mas."

"Terima kasih ya, sudah mau mengerti aku."

Zahra mengangguk.

"Udah nggak ada apa-apa, kan? Aku mau pulang?" tanya Zahra.

"Udah nggak galau lagi kan?"

"Ih, orang Mas yang bikin aku galau."

"Terima kasih untuk cinta yang besar buat aku," ucap Revan kemudian menarik Zahra ke dalam pelukannya. Zahra juga memeluk Revan.

"Iya ... semoga kita berjodoh. Meskipun Allah menakdirkan jalan rumah tangga kita yang seperti ini," jawab Zahra.

Revan mencium kepala Zahra.

"Aku pulang ya, Mas."

"Hati-hati, ya, nyetirnya!"

"Iya," jawab Zahra kemudian mencium pipi Revan. Lalu mencium punggung tangan suaminya itu.

Setelah mengucapkan salam, Zahra meninggalkan ruangan Revan.

Di pintu masuk rumah sakit, Zahra berpapasan dengan orang yang sangat dikenalnya dengan mengenakan jas dokter yang membuatnya semakin tampan.

"Lho, Bang Fattan?"

"Zahra?"

Tonton di YouTube, yuk... aku upload cerita, yang nggak aku publish di wattpad juga. Jangan lupa subscribe dan nyalakan lonceng, aku upload video setiap hari 😉

TBC.

📝070517
Repost, 01.08.18
Repost, 24.01.24

Cinta SendiriWhere stories live. Discover now