EMPAT PULUH EMPAT : Don't Cry

174K 16.9K 1.5K
                                    

"Tulang dada atau kita sebut tulang rusuknya patah, kemungkinan besar karena pukulan benda tumpul." Lalisa menunduk, dan mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Untung saja pukulan di kepalanya tidak parah, karena itu akan sangat berbahaya," jelasnya lagi.

"Ada banyak luka lebam yang Samudra dapatkan, tetapi tenang saja. Itu bisa sembuh dengan sendirinya," ucap dokter dengan maksud menenangkan. Karena ia sendiri tidak tega dengan siswa SMA dihadapannya yang sedang menangis terisak.

"Apa ia akan segera bangun?"

"Kami tidak tahu pasti."

Ayah Samudra sendiri hanya menatap nanar ke arah anaknya yang berbaring, sebodoh itu kah ia selama ini?

Ia pikir dengan materi yang melimpah dan kebebasan yang ia berikan maka Samudra akan senang dan hidup dengan penuh semangat setiap harinya, ia tahu bahwa anaknya itu seringkali berulah. Tetapi ia menganggap wajar hal itu, karena anak laki-laki memang tidak aneh untuk berbuat nakal saat masa remajanya.

Benar, dulu ia bahkan sempat membenci kehadiran Samudra. Gara-gara dia istrinya, wanita yang paling ia cintai meninggal, dan sulung Navvare yang bernama Alvaro kehilangan ibunya. Ia dulu sempat membeda-bedakan perlakuan yang ia berikan terhadap Alvaro dan Samudra.

Kepada Alvaro ia memanjakannya, memberikan segala perhatiannya dan selalu mendukung apa yang dilakukan anak sulungnya itu. Tetapi perlakuannya terhadap Samudra berbeda, ia sering mengacuhkan anak itu karena egonya yang tinggi. Beberapa kali ia melihat Samudra bersedih, tetapi anak itu selalu menyembunyikan rasa sedihnya dengan memasang wajah datar. Dan bodohnya ia berlaku seperti tidak mengetahui hal itu.

Ia kini sadar, Samudra juga sama menderita dengannya atau Alvaro. Ia tidak pernah bertemu ibunya barang sedetikpun, ditambah perlakuannya yang tidak adil pasti membuat anak laki-laki itu mati rasa.

Ia menyesal, sungguh. Tetapi penyesalan selalu berada di akhir bukan?

Ayah Samudra menoleh, menatap siswi yang sedang menutup wajahnya dan terisak hebat. Apakah benar yang dikatakan teman Samudra bahwa anak perempuan bernama Lalisa itu adalah pacar Samudra? Ia sedikit bersyukur, setidaknya ada yang Samudra sayangi dan ada yang menyayangi anak yang kini adalah anak satu-satunya itu.

"Lebih baik berdoa saja yang terbaik, semoga Samudra cepat sembuh." Dokter mengangguk sopan dan keluar dari ruangan itu.

Lalisa melangkahkan kakinya pelan ke arah tempat tidur, mata bulatnya yang kini sembab melihat Samudra dengan sedih. Mengapa ini harus terjadi?

Tangannya mencengkram erat roknya yang kini kusut, tangisannya tidak berhenti sejak tadi.

Ayah Samudra menghela napasnya dalam-dalam, lalu dihampirinya Lalisa yang menunduk.

"Kamu pacarnya Samudra kan?" Lalisa mendongak, menghapus air matanya lalu mengangguk.

"Maafin sikap om yang tadi, saya terbawa emosi." Lalisa tersenyum tipis. "Maafin saya juga om, saya juga kebawa emosi."

"Makasih ya." Lalisa mengerutkan dahinya tidak mengerti ketika Ayah Samudra mengatakan hal itu. Apa tadi ia mengatakan ucapan terima kasih?

"Apa?"

"Terima kasih, Samudra pasti sayang sama kamu. Om nggak pernah liat dia ngerasa sayang sama orang lain, kadang sama dirinya sendiri saja dia malah nggak sayang." Ayah Samudra tertawa miris.

"Terima kasih sudah membuat Samudra pernah ngerasain rasa sayang, dia harusnya dapet itu dari dulu."

"Sama-sama om," balas Lalisa terbata, karena terpotong isakannya yang tidak berhenti.

My Possessive Bad Boy (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang