[19] Miss Out

26 7 0
                                    


Tiga tahun lalu, Haruka masih duduk di bangku SMA dan sudah mengenal bagaimana rasanya membunuh seseorang. Benar. Ini sudah menjadi tahun pertamanya sejak pertama kali ia membunuh pembunuh orang tua angkatnya.

Sejak menjadi pembunuh yang dikenal terampil, ia tidak pernah menunjukkan perasaannya kecuali saat bertemu anak-anak dari panti asuhan. Ia juga sudah sering bekerjasama dengan pembunuh lain untuk menyelesaikan misinya. Terlebih lagi dengan Unseen Chame.

Dia adalah orang yang paling sering bekerja sama dengannya. Biasanya Haruka hanya bekerjasama selama 1 misi saja. Tapi kali ini ia bekerja sama dengan Heinz sampai 3 kali. Bukan dirinya yang minta, tapi Heinz sendiri lah yang minta. Mau tidak mau Haruka mengabulkan permintaan itu untuk sementara waktu. Dan hari ini adalah hari terakhir mereka bekerja sama.

"Haruka-chan, siapa nama kakakmu itu?" tanya Heinz selepas menarik belatinya dari perut korbannya.

Kini mereka baru saja menyelesaikan misi terakhirnya, membunuh mantan bos tertinggi perusahaan elektronik terkenal. Awalnya mereka hampir gagal karena target melarikan diri. Tapi berkat jebakan Haruka, kegagalan itupun hilang. Sang target mengalami luka parah di bagian kaki dan mereka berdua sempat mengejar sampai ke gang sempit.

"Tsukino Sein," jawab Haruka dengan santainya selagi membersihkan jebakan, "dan jangan panggil aku dengan namaku, Unseen Chame."

"Ayolah Haruka-chan. Kita kan sudah lama ke—,"

SRING

Bagaikan kilat, ujung katana milik Haruka sudah menempel di leher Heinz. "Akan kutebas kepalamu jika masih memanggil namaku itu," Haruka berkata dengan tatapan sinis.

"Jangan semarah itu. Kecantikanmu nanti bisa luntur," ucap Heinz tanpa menghiraukan ujung katana yang sudah melukai lehernya.

Ini bukan pertama kalinya Heinz bersikap seperti itu kepada Haruka. Hampir setiap kali bertatapan Heinz menggoda Haruka mulai dari ucapan biasa sampai ke hal mesum. Awalnya Haruka merasa itu cukup biasa karena Heinz laki-laki. Tapi lama kelamaan Heinz semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya Haruka harus membuat keputusan sendiri.

"Tsk," Haruka pun memasukkan katananya ke dalam sarungnya, "cukup sampai sini. Sampai jump--,"

"Tunggu," Heinz menarik lengan Haruka mencegahnya pergi, "ayo kita kerja sama lagi."

"Aku sudah muak bersamamu. Kau hanya menggangguku!," serunya sangat nyaring sampai membuat Heinz melepas genggamannya, "sampai jumpa!" Haruka pun berlari meninggalkan Heinz sendirian.

...

Kota yang gelap. Dikelilingi oleh pembunuh bayaran yang siap menyantap darah daging targetnya. 'Bertarung atau Mati', itulah slogan yang sudah diterapkan kota ini sekarang. Pemerintah tidak mau bertanggung jawab, kepolisan dan kemiliteran hanya menutup mata. Dengan begitulah kota ini menjadi rumah para pembunuh atau mantan pembunuh.

Haruka salah satunya. Ia adalah pembunuh yang dikenal dengan nama Silent Assasin. Terampil dan sangat berhati-hati, itulah teknik yang sangat ia dalami. Membunuh tanpa suara. Karna itulah ia dinamakan 'Silent Assasin'.

Meski dikenal sebagai pembunuh keji, ia masih memiliki hati bagaikan malaikat begitu menginjakkan kakinya di panti asuhan tempat ia ditampung sebelumnya. Hampir setiap hari ia mengunjungi panti asuhan itu. Meski sudah bisa hidup sendiri di luar sana, tapi hatinya masih terikat kuat dengan panti asuhan itu.

"Wah, Haruka Onee-chan!!" seru anak kecil yang kebetulan ada di halaman depan.

"Ah! Inue-chan!," sapa Haruka menjajarkan tingginya dengan anak kecil bernama Inue itu, "bagaimana kabarmu saat Onee-chan pergi?"

"Tentu saja baik-baik saja!" serunya riang gembira, "aku sudah bisa membuat origami angsa seperti Haruka Onee-chan!"

"Wah! Itu sangat hebat, Inue-chan!" kata Haruka terkagum. Ia pun mengelus kepala anak itu lalu menggandengnya masuk rumah, "ayo kita main dengan yang lainnya."

"Ara~ Haruka-chan, selamat siang," sapa Bibi Mishimune dengan senyuman lembut.

"Bibi Mishimune!" dengan senangnya Haruka memeluk Bibi Mishimune, "syukurlah Bibi Mishimune masih sehat seperti biasanya."

"Haruka-chan juga sehat seperti biasanya," ucap Bibi Mishimune membalas pelukan Haruka lalu menatap Inue, "Inue-chan, kamu main sama yang lain dulu. Haruka-chan akan menyusul nanti."

"Hai," seru Inue berlari ke ruangan sebelah.

Dengan sedikit heran, Haruka pun melepas pelukannya, "Ada apa Bibi?"

"Apa kamu baru selesai melakukan misimu itu?"

Ekspresi Haruka luntur seketika. Ia tahu kalau Bibi Mishimune sudah mengetahui bahwa dirinya adalah pembunuh bayaran. Tapi Bibi Mishimune tidak menghentikan tindakan Haruka yang terbilang keji ini. Ia hanya menasehati dan menasehati saja.

"Aku tahu kamu melakukannya untuk mengisi waktu luang. Tapi jangan lupa dengan sekolahmu ya. Sein-kun tidak ingin kamu berhenti sekolah hanya karena hobimu itu," ucap Bibi Mishimune menepuk pundak Haruka.

"Aku mengerti. Maaf Bibi," balasnya dengan suara rendah.

"Kalau begitu belikan Bibi tepung terigu ya. Bibi mau memasak kue kesukaanmu," ucap Bibi Mishimune mengeluarkan uang lalu menyerahkannya kepada Haruka.

Mimik muka Haruka kembali cerah. Ia pun menerima uang itu dan berangkat keluar dengan wajah ceria, "Aku berangkat!"

Dengan hati yang riang, Haruka berjalan menuju toko yang biasa ia kunjungi. Letaknya juga tidak cukup jauh dari posisinya sekarang. Hanya perlu melewati taman kota dan cukup berjalan beberapa puluh meter lagi.

Tapi langkahnya terhenti begitu berpapasan dengan dua orang di taman itu yang muncul dari arah berbeda.

"K-K-Kalian?" Haruka melototi dua orang itu.

Nampaknya bukan hanya Haruka yang tertegun dengan pertemuan langka ini. Kedua orang di sekitarnya juga melototi satu sama lain. Keadaan begitu hening sampai salah satu dari mereka mulai berbicara.

"H-H-Haruka?" sapa gadis yang tak jauh dari Haruka.

"Lama tak jumpa, Haruka, Rache," sapa satu orang lainnya.

Keringat dingin pun mengguyur wajah Haruka. Ia ingin angkat bicara lagi tapi kedua orang itu membuatnya tidak bisa berkata apapun. Dengan menghirup udara segar, ia pun mulai berkata.

"Rache? Itoshi?"

Weltschmerz [Completed]Where stories live. Discover now