[5] One Soul, Two Hearts

42 9 0
                                    

Waktu demi waktu suara langkah kepergian Itoshi dari Haruka mulai menghilang. Perasaan kesal dan ingin membunuhnya mulai pudar perlahan-lahan seiring hilangnya langkah sang lelaki bertopeng. Iris Pure Blue-nya sama sekali tidak menatap ke arah perginya lelaki itu. Namun, Haruka masih saja berdiam diri sejak beberapa menit setelah kepergian Itoshi dan tanpa sengaja memikirkan perkataan terakhir dari Itoshi selepas meninggalkannya.

"Maafkan aku, Haruka. Tapi waktuku hari ini sudah habis dan aku harus kembali sekarang. Aku akan mencarimu besok."

Meski cuma sebatas kata-kata saja, Haruka tidak bisa menghilangkan perkataan itu karena setelah datangnya kata-kata itu, sempat-sempatnya Itoshi mengelus kepala Haruka yang jarang dielus oleh orang lain selain dirinya. Rasa hangatnya bagaikan telah menempel pada perkataannya. Maka dari itu, setiap mengingat perkataan itu, hati Haruka juga merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan biasanya.

Jarang ia rasakan.

Haruka teringat akan suatu hal. Yaitu pulang ke tempat dimana ia harus berada sekarang. Tempat itu ada di sudut kota. Untuk menuju ke sana, pilihannya adalah naik bus atau jalan kaki. Bagi Haruka sendiri, naik bus hanya akan membuatnya menarik banyak perhatian saja. Mau berjalan pun jaraknya puluhan kilometer dan memungkinkan dirinya akan sampai dalam waktu lebih dari lima jam lamanya. Bahkan di tempat itu, ada seseorang yang menunggu kehadiran Haruka. Kalau tidak ada orang yang menunggunya, Haruka akan lebih memilih untuk jalan kaki daripada naik bus yang biasanya dipenuhi oleh orang sok sibuk. Jalan satu-satunya adalah naik bus dengan keadaan terpaksa.

Langkah nan pasti mulai terdengar menuju ke halte bus. Menutupi identitasnya menggunakan tudung jaket merupakan hal yang terpenting untuk Haruka selama melakukan perjalanan yang jauh. Surai soft-cream-nya mulai terasa hangat kembali setelah lama bersentuhan dengan butiran kristal salju. Iris Pure Blue yang tertutup oleh bayangan hitam dari tudung jaketnya seakan-akan berubah menjadi gelap sepenuhnya. Tatapan matanya juga tidak bisa ditebak oleh orang lain meski dalam jarak yang terlihat cukup dekat. Selama perjalanan tidak ada orang yang berani menatap gadis ini selama satu menit. Meski banyak orang yang ia lewati, Haruka tetap saja tidak menarik banyak perhatian di sekitarnya.

Sesampainya di halte, seperti dugaan Haruka kalau di sana ada lumayan banyak orang yang mau menggunakannya. Terpaksa naik bus memanglah jalan satu-satunya di situasi seperti ini. Walau biasanya Haruka tidak mempedulikan orang lain, namun ia menganggap seseorang yang menunggunya adalah orang yang sama pentingnya dengan tujuannya menjelajahi banyak gang sempit selama ini. Memikirkannya saja sudah membuat dirinya merasa nyaman di dalam lingkungan yang ramai. Apalagi kalau sudah bertemu dengan wajah orangnya. Mungkin saja perasaan dengan kegelapan di dunianya akan berubah.

Tak lama menunggu, datanglah bus yang sedang ditunggu. Disaat berhenti, tak bisa diduga kalau banyak sekali orang yang keluar dari bus itu. Banyaknya penumpang yang keluar dan yang akan masuk benar-benar berbeda jauh. Jumlah penumpang yang keluar dua kali lebih banyak dari penumpang yang masuk. Dapat diartikan kalau situasi di dalam bus akan lebih sepi dari perkiraan Haruka selama ini. Kini Haruka tidak punya keraguan lagi untuk menaiki bus itu meski tidak sesepi yang ia inginkan. Langkah Haruka langsung terasa ringan saat memasuki bus itu.

Perjalanan bus memang tidak bisa dikatakan menyenangkan untuk gadis pecinta dunia monokrom itu. Yang ia lakukan hanyalah duduk di sudut belakang bus dan memandangi lingkungan di luar jendela. Biarpun Haruka sudah hafal dengan sekitarnya, tetap saja ia pandangi agar tidak merasakan kebosanan yang melebihi harapannya. Bayangan-bayangan akibat terpaan cahaya surya terlihat jelas di manik Pure Blue-nya. Warna terang yang lain sudah tertutup oleh gumpalan salju putih. Bahkan seolah-olah warna irisnya juga berubah menjadi hitam gelap. Tanpa sadar bus hampir sampai ke tujuan pemberhentiannya. Haruka lekas berdiri dan menuju ke pintu keluar bus.

Dari posisi Haruka sekarang dengan tujuannya hanya berkisar satu kilometer saja. Dengan memasukkan telapak tangannya ke dalam saku jaket, Haruka memulai perjalanannya dengan perasaan dingin. Situasi di dalam bus barusan sepertinya telah menyita kehangatan dalam diri Haruka sebelum menaiki bus itu. Hawa dingin yang ditambah dengan perasaan dinginnya telah membuat dirinya tertutup seperti dirinya sebelum bertemu dengan lelaki bertopeng itu. Langkah-langkah kecilnya terlihat tidak mempedulikan apa yang ia injak atau tendang.

GREEK

"Kali ini kamu terlambat 10 menit.''

Baru saja membuka pintu rumah, Haruka sudah disapa dengan perkataan yang sangat jelas dinginnya. Haruka memasuki rumah itu lalu menutup pintu dan melepas tudung jaket yang menutupi wajahnya sejak tadi. Pandangan mata Haruka langsung tertuju kepada lelaki yang memandangnya sejak membunyikan pintu. Manik biru bagaikan langit milik lelaki itu seakan-akan telah membuat suasana Haruka lebih cerah dan berwarna.

"A-Aku pulang," ucap Haruka sambil memalingkan pandangannya dari lelaki itu.

"Aku sudah menyiapkan makan malamnya. Lepas jaketmu lalu makan," ujar lelaki itu sembari menata meja makan.

Haruka mengangguk lalu melepas jaketnya dan berjalan menuju meja makan. Diam di kursi dan tidak melakukan tindakan lain. Bahkan lelaki yang menyiapkan makanan pun juga tidak ia pandangi. Iris Pure Blue-nya tidak bisa menatap surai Sky Blue milik lelaki itu. Seolah-olah warna langit lelaki itu telah membuka luas hati Haruka yang terperangkap di dalam kotak bayangan.

Saat makan pun Haruka masih saja tidak melihati lelaki itu. Tatapannya hanya tertuju ke makanan dan minumannya saja. Entah itu karena rasa malu atau benci yang merasukinya. Lelaki itu sendiri juga sadar kalau Haruka tidak memperhatikannya saat ini. Namun yang dilakukan lelaki itu terlihat jelas kalau sulit untuk diajak bicara.

"Bagaimana harimu, Haruka?" sapa lelaki itu memulai pembicaraan sembari menyuci piring.

"Uhm... tidak buruk... mungkin," jawab Haruka berusaha menyembunyikan sesuatu.

"Begitu ya," Sein berjalan ke meja makan dan duduk tepat di depan Haruka, "Jadi berapa orang yang sudah kau bunuh?" katanya dengan senyuman.

"Kurang lebih... lima orang," gumam Haruka menundukkan kepalanya.

Lelaki itu berdiri dari kursinya dan berjalan memutari meja makan. Haruka benar-benar tidak bisa menatap iris biru langit lelaki itu karena senyuman yang baru saja lelaki itu keluarkan. Anggapannya, senyuman itu menandakan intimidasi paling menakutkan melebihi kumpulan perampok yang siap menyerangnya. Langkah kaki lelaki itu sendiri bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Nafas Haruka tidak bisa dikendalikan. Keringat dingin keluar begitu saja seiring dewa kematian itu melangkah.

"Akan kumaafkan yang ini," kata lelaki itu tepat di belakang Haruka, "Tapi jangan ulangi lagi ya," katanya lagi sambil mengelus kepala Haruka.

"Nii-san," gumam Haruka terasa jelas gembiranya.

Sein berjalan memutari meja makan lagi dan duduk di depan Haruka lagi.

Haruka merasakan kehangatan yang menyenangkan. Rasanya seperti hangatnya mentari pagi yang membiaskan cahayanya menjadi jutaan warna. Kepalanya yang sedari tadi ia tundukkan langsung terangkat dan berani menatapi mata lelaki itu. Iris Pure Blue-nya berbinar-binar akibat kehangatan yang lelaki itu buat dan tatapan biru langitnya juga.

"Oh Haruka, bolehkah aku tanya sesuatu?"

"A-Apa Nii-san?" balas Haruka agak kebingungan.

"Apareaksimu setelah bertemu kedua teman lamamu tadi?"

Weltschmerz [Completed]Where stories live. Discover now