[0] Prolog

238 19 5
                                    

Memasuki pertengahan November, Tokyo telah memasuki musim dingin sejak berminggu-minggu yang lalu. Tak ada lagi siraman hangat cahaya mentari pagi, yang ada malah hawa dingin menusuk tulang. Salju yang turun semalaman berhasil membuat kota dihampari selimut putih. Nuansa tersendiri yang selalu dirindukan setiap tahunnya.

Kesibukan masih berjalan seperti biasa. Orang-orang silih berganti melewati ruas-ruas jalan. Semua sedang menuju destinasinya masing-masing. Perbedaan kentara tiap kali musim dingin tiba adalah jaket-jaket tebal yang melapisi mereka. Tangan mereka barbalutkan sarung tangan, ada yang disembunyikan dalam kantung, dan ada pula yang saling digosokan mencari kehangatan. Sesekali mereka merapatkan syal ke hidung dan merapatkan jaket mereka. Mencegah agar udara dingin tidak menyelinap masuk. Setidaknya hati mereka masih cukup hangat untuk melangkahkan kaki keluar rumah.

Kereta terasa lebih sesak dan penuh dari sebelumnya. Mungkin karena jaket tebal mereka atau karena orang yang tidak biasa naik kereta memilih untuk naik kereta. Suhu di luar memang dingin luar biasa, tidak ada salahnya mereka naik kereta untuk mengusir dingin sesaat. Alhasil bagian dalam kereta terasa hangat. Hal tersebut kelihatannya berlaku untuk seorang mahasiswi di dalam sana.

Mahasiswi itu berdiri merapat menghadap pintu. Keterlambatannya menyebabkan ia harus rela tidak mendapat tempat duduk. Tidak apa, pikirnya. Kampusnya tidak terlalu jauh dan ia biasa berjalan kaki. Lantas kenapa ia sekarang berada di dalam kereta? Ia tidak bisa menemukan syal dan sarung tangannya, tanpa itu ia merasa malas untuk berjalan kaki menuju kampus. Akhirnya ia memilih alternatif lain.

Ia menatap kosong keluar jendela. Sejujurnya, ia tidak suka berada di keramaian, terlebih tempat sempit seperti gerbong kereta. Untuk kali ini saja, ia akan mencoba untuk bertahan. Ditangkupkannya kedua telapak tangannya di depan hidungnya. Mengusir udara dingin memasuki paru-parunya. Kebisingan dalam gerbong membuatnya muak. Ingin ia berseru agar orang tidak tahu diri segera diam. Beruntung orang di samping dan belakangnya tidak ikut berbicara. Suara bising itu jadi agak jauh darinya.

Diliriknya seorang pria yang ada di samping kirinya. Lelaki itu selalu tersenyum, sama seperti pantulan wajahnya yang mahasiswi itu lihat di pantulan kaca yang tertangkap ujung matanya. Ia mendapat dugaan kalau pria itu masih mudah bila dinilai dari pakaian dan tasnya. Tinggi lelaki itu sama dengan kakak lelakinya di rumah. Kacamata berbingkai hitam yang dikenakan lelaki itu terlihat pas di wajahnya. Siswi itu senang karena ia tidak berisik, tapi senyuman lelaki itu membuatnya sedikit jengkel. Ada banyak orang seperti lelaki itu di luar sana yang selalu tersenyum. Ia tidak mengerti kenapa hal itu terjadi.

Menurutnya itu hanyalah hal yang bodoh dan konyol. Ia sendiri baru bisa tersenyum di rumah, di luar itu semuanya hanya kepalsuan belaka. Ah, tidak ada gunanya juga terus memikirkan hal itu.

Kelihatannya lelaki itu sadar diperhatikan oleh perempuan berwajah kaku di sampingnya. Ia melirik balik perempuan itu saat ia tidak melihat. Rambut sepunggungnya terurai indah. Struktur wajahnya terlihat mungil. Menurutnya perempuan itu cantik, dan akan bertambah bila ia tersenyum. Lalu ia membuka ponselnya dan membaca pesan-pesan yang baru masuk. Hingga akhirnya ia merasakan perempuan itu memperhatikannya lagi.

''Apa ada sesuatu di wajahku?'' tanya pria itu halus. Senyumnya secerah musim semi dan selembut sutra. Untuk sesaat mahasiswi itu terdiam mendadak ditanyai seperti itu.

Mahasiswi itu lalu menggeleng pelan, ''Gomennasai, nandemo arimasen1.''

''Oh,'' serunya, ''namamu, Tsukino Haruka, kan?''

Seketika mahasiswi itu terkesiap. Kelopak matanya membuka lebar dan jantungnya berdebar-debar. Bagaimana bisa pria itu mengetahui namanya? Ia bersiaga, siapa tahu pria ini seorang penguntit atau yang lebih parah lagi dari itu.

Pria itu tersenyum tipis melihat reaksi terkejut dan waspada Haruka di saat yang bersamaan. Ia terlihat hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Kemudian ia tertawa pelan, ''Sepertinya aku lancang sekali, ya? Tapi kalau dilihat dari reaksimu, itu benar namamu, kan?'

Dengan ragu Haruka mengangguk. Matanya awas menatap pria asing tersebut. Ia harus mencari tahu tentang lelaki ini. Begitu ia tahu, ia bisa memilih tindakan yang tepat. Sesuai dengan hukum rimba, memakan atau dimakan.

Begitu Haruka ingin menanyakannya untuk lebih jelasnya, pria itu sudah turun dari kereta lebih awal darinya. Tidak mungkin bagi Haruka untuk mengejarnya. Tujuannya masih satu stasiun lagi. Turun untuk mengejar pria yang tidak jelas identitasnya bukanlah kebiasaannya. Bahkan kakaknya pasti tidak akan senang jika ia terlambat masuk sekolah hanya karena masalah sepele.

Kedua insan itu pun berpisah. Bersamaan dalam diam mereka memikirkan kejadian yang baru saja berlalu. Keduanya mendapat kepingan petunjuk yang berbeda namun akan membantu mereka nantinya. Dan masih ada ribuan kepingan lainnya yang harus mereka cari. Mungkin ada ribuan di luar sana atau bahkan tidak terhingga. Terkadang bisa begitu dekat, dan terkadang bisa jadi sangat jauh dari genggaman. Kepingan-kepingan itu memiliki satu tujuan yang sama. Kelak mereka akan bersatu menjadi sebuah Weltschmerz.

[1] Maaf, bukan apa-apa

Weltschmerz [Completed]Where stories live. Discover now