[1] Town In shadows

128 15 2
                                    


Dunia yang begitu mengesankan. Setiap harinya selalu dikelilingi oleh jutaan warna yang dibiaskan oleh cahaya sang surya. Berbagai warna mencerahkan seluruh isi kota monokrom. Warga seisi kota begitu bahagianya berjalan mengelilingi kota dengan senyum riang mereka. Aura secerah cahaya pagi selalu mengitari mereka seperti penanda kebahagiaannya. Meski selalu ada rintangan dan masalah di hadapannya, tetap saja aura indah mereka menyala bagaikan kobaran api unggun di malam hari.

Namun semua perasaan itu sama sekali tidak berarti pada hati kecil gadis 19 tahun yang sedang mengantongi kedua tangannya ke dalam saku jaket. Tsukino Haruka. Siswi biasa yang hanya melakukan hal monoton tiap harinya. Menutupi wajahnya dengan tudung jaket ketika berjalan adalah kebiasaannya selagi tidak ingin memperlihatkan identitasnya kepada dunia luar. Monokrom hanyalah warna yang bisa dilihat oleh iris pure blue-nya. Aura kebahagiaan orang di sekitarnya juga dianggap sebagai aura gelap yang selalu menusuk hati kecilnya.

Setiap harinya, Haruka selalu berjalan menyusuri tempat terpencil dengan sahabat monokromnya. Dari jutaan warna di dunia, ia hanya memilih dua warna yang setia menemaninya di siang ataupun malam. Baginya, semua warna itu sama saja. Berakhir di hitam sebagai tanda perasaan menyesal dan putih sebagai tanda perasaan bahagia. Tetapi kehidupannya hanya berupa kegelapan semata saja. Warna putih itu hanya ia gunakan sebagai garis penggambar lokasi saja. Kegelapanlah yang mendominasi pandangannya setiap hari.

"Sepertinya tidak ada hal menarik di sini,"

Gumaman yang selalu muncul di detik-detik terakhir ketika berkelana telah menandakan gadis bersurai soft-cream itu tidak menemukan sesuatu hal yang ia cari-cari selama ini. Selalu saja berakhir seperti ini di setiap menjelajahi kota tempat ia berada. Gumaman berusan juga menandakan kalau Haruka akan kembali ke tempat kesayangannya. Taman bermain. Itulah tempat yang biasa ia gunakan sebagai penenang diri setelah menyusuri warna tak berarti.

Berjalan dengan tangan menggenggam sepotong es krim telah menjadi kebiasaannya sewaktu ingin menuju ke lokasi kesukaannya. Mengabaikan orang-orang yang memperhatikannya juga menjadi salah satu kebiasaan terbaiknya. Bagi Haruka, semua orang yang memperhatikannya hanya berpura-pura peduli kepadanya. Tatapan sinis dari orang lain juga sering Haruka lihat meski tanpa melepaskan tudung jaketnya.

"Ibu, aku mau mainan robot di toko tadi."
"Tanyakan pada ayahmu,"
"Ayah, ayah, bolehkah aku mendapatkan mainan itu,"
"Tentu saja. Akan ayah belikan mainan super keren pulang nanti."

Percakapan yang selalu Haruka dengarkan di taman. Seorang anak yang gembira akan indahnya keluarga. Iri adalah satu-satunya yang bisa Haruka pendam di hatinya. Seakan-akan, dunia ini tidak adil untuk kehidupannya.

Melihat anak-anak bermain bersama dengan orang tua selalu saja mengingatkan pada dirinya dimana tidak ada orang yang menyayanginya. Alasannya, Haruka tidak tahu siapa orang tuanya sampai sekarang. Perjalanan sepuluh tahun lebih belum memuakan hasil, yaitu mencari siapa orang tuanya.

Berkali-kali Haruka berada di taman bermain untuk mengetahui arti kasih sayang yang sebenarnya. Tapi setiap pergi keluar taman, aura gelap selalu saja menjadi satu-satunya yang menemani perjalanannya. Tak ada sebuah kebahagian di hatinya. Siksaan dan kesengsaraan selalu menguasai pikiran dan hati kecilnya.

Perlahan-lahan, es potong yang Haruka pegang dari tadi meleleh seperti hatinya saat ini. Ingin menangis pun percuma saja karena tidak akan mengubah penderitaannya. Ingin pergi dari kenyataan pun sia-sia saja karena dunia ini kecil. Tak seluas dunia pada umumnya. Menyalahkan dunia juga tidak akan mengubah kehidupan gadis pemendam rasa itu. Yang harus ia lakukan hanyalah memendam perasaan dan mencari perasaan.

"Kelihatannya kau sedang mengalami kesulitan yang menyeramkan."

Baru saja, seorang lelaki mengajak bicara kepada Haruka. Saat Haruka melirik ke lelaki itu, yang ia lihat adalah lelaki dengan topeng dan jaket lumayan tebal yang dipakainya. Haruka tidak berniat membalas perkataan lelaki itu barusan. Anggapannya, menjawab perkataan menyedihkan barusan justru akan menyusahkan dirinya lagi. Tak ada gunanya menjawab atau membalas apa yang dikatakan orang kalau maksud perkataan itu sendiri menjurus ke kesedihan.

"Mau kubantu? Mencari sumber kebahagiaanmu."

Haruka tercengang. Perkataan lelaki barusan benar-benar tidak bisa disalahkan. Bahkan Haruka tidak menyangka ada orang yang tahu permasalahan hidupnya meski diam seribu kata. Iris pure blue-nya tidak bisa dialihkan dari lelaki bertopeng itu. Berkali-kali hatinya mencoba untuk menerima kehadiran lelaki itu. Namun jalan pikirannya masih saja tidak mau mengikuti kata hatinya.

Akhirnya Haruka berniat untuk beranjak dari kursi lalu meninggalkan lelaki itu. Tanpa sepatah kata. Meski sudah berjarak lumayan jauh, tetap saja dengungan kalimat dari laki-laki tadi. Berkali-kali detukan langkahnya berbunyi, namun masih saja suara menyakitkan itu terdengar. Menutupi telinga pun masih tidak berguna karena sudah terekam oleh otak. Sudah berjarak sangat jauh pun masih tidak berguna.

Kembali lagi ke dunianya, mencari sebuah kebahagiaan. Kali ini, Haruka berjalan ke gang sempit yang tidak biasa ia lewati. Berbagai tumpukan sampah bertebaran di sekitar jalan. Tak sedikit pula tikus-tikus yang berlarian ketakutan. Tetap saja, Haruka berpedoman pada warna monokromnya. Tidak mempedulikan yang lain. Sampai di ujung jalan, ia menemui jalan buntu. Tidak hanya itu, para preman penguasa kawasan itupun juga bermunculan.

Pandangan tenang masih melekat di mata Haruka. Preman-preman itu terlihat hanya seperti serangga pengganggu baginya. Tidak lebih berguna dari monyet dan lebih rendah dari anjing. Lototan mata dan genggaman pisau lipat preman itu menjadi senjata andalan untuk menakuti mangsanya.

"Hei nona, kelihatannya kau sedang ingin bermain dengan kami," kata salah satu preman itu dengan tangan kiri ingin meraih Haruka.

Dengan cepat, Haruka menggenggam tangan kiri preman itu lalu memutarnya hingga suara retak keluar dari tulang preman itu. Tentu saja, preman itu terjatuh dan menjerit kesakitan. Tidak ada sepatah katapun yang dikeluarkan Haruka selepas meremukan lengan salah satu preman tadi. Ekspresinya pun tidak berubah. Seakan-akan hal itu sudah menjadi kebiasaannya.

"SIALAN KAU! PERGILAH KE NERAKA!!"

Keempat preman itu menyerang Haruka secara bersamaan. Sungguh menyedihkan. Empat laki-laki dewasa melawan satu gadis remaja yang tidak memiliki kebahagiaan. Dengan cepat, Haruka melucuti pisau mereka lalu digunakan untuk menebas perut mereka hingga keluar isi perutnya. Cipratan darah keluar tanpa henti. Lagi-lagi Haruka tidak mengeluarkan ekspresi terkejut ataupun senang. Dengan ditutupi tudung jaketnya, Haruka keluar dari area pembunuhan itu sebelum ada saksi mata yang melihatnya.

"Kelihatannya kau memang kehilangan akalmu ya,"

Benar-benar tak terduga. Laki-laki dari taman tadi berada di hadapan Haruka tanpa ia sadari. Kali ini Haruka mengeluarkan ekspresi terkejutnya di hadapan lelaki itu. Haruka tidak bisa menghindar lagi. Satu-satunya jalan untuk keluar dari gang sempit ini hanyalah melewati lelaki itu.

"Kali ini apa maumu?" tanya Haruka yang akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Hehehe. Sudah kukatakan tadi, akan kubantu kau mencari kebahagiaanmu."

Weltschmerz [Completed]Where stories live. Discover now