[12] They Need A Light, Hope, & Plan

23 9 0
                                    

Pria itu memandangi sebuah bingkai foto dengan frame hijau tua. Ada foto berisi banyak orang di sana. Di sebelah bingkai foto yang tergantung itu ada sebuah papan putih yang lumayan besar. Ada beberapa foto orang-orang yang berbeda tertempel dengan pin.

Kemudian ia berbalik dan menghempaskan dirinya di sofa. Mencoba menenggelamkan dirinya dalam mimpi yang indah. Berusaha untuk melupakan sejenak masalah yang tidak pernah bisa membuatnya tenang.

''If could reach those light then would you take away this weltschmerz of mine?''

Hening, pria itu tersenyum tanpa sadar.

''Pada siapa aku bicara?''

###


''Now, please explain yourself would you?''

Ruangan bernuansa abu-abu itu memiliki aura mencekam saat ini. Itoshi tertunduk lemas di sofa sementara Rache mengobati lukanya. Sedang Reika berdiri tepat di depan mereka berdua dengan tatapan tajam. Menunggu penjelasan paling masuk akal dari dua bawahannya.

''Aku memasang pelacak pada Tsukino Sein dan ia dengan sengaja masuk dalam perangkapku, '' Itoshi memulai penjelasannya, ''Awalnya aku hanya ingin tahu tempat persembunyiannya tapi saat bertemu dengannya langsung aku tidak bisa menahan lagi dan mengajaknya bertarung. Hasilnya seperti yang anda lihat.''

Itoshi masih menundukkan wajahnya. Ia tidak akan meminta maaf karena ia tahu itu percuma saja. Di sebelahnya, Rache sudah duduk santai seakan tidak terjadi apa-apa.

''Apapun itu, yang terpenting adalah fakta bahwa kau masih cukup waras untuk mundur dan pulang membawa nyawamu.''

Bersamaan Itoshi dan Rache menengadahkan kepala mereka. Kalimat Reika barusan memang sedikit kejam tapi maknanya jauh lebih dalam. Reika senang Itoshi kembali hidup-hidup tanpa memarahinya.

''Sekarang kalian berdua istirahat saja.'' Setelah itu Reika keluar dari ruangan.

''Bersyukurlah Itoshi.'' Rache berbisik pada partnernya.

''Ya, kau benar. Sir Reika orang yang baik.''

###

Rotasi Bumi kembali membawa matahari muncul di ufuk Timur. Pertanda pagi telah datang membawa sejarah baru. Sayangnya masih membawa masalah yang sama dengan kemarin.

Haruka keluar dari apartemennya. Ia tidak pulang ke rumah semalam karena tidak mau berurusan dengan kakaknya. Jadi ia memilih untuk tidur di apartemen yang ia beli diam-diam. Pagi ini ia juga tidak berangkat ke sekolah, lagipula ia sudah memahami semua materi yang ada. Mungkin ia harus mengurus surat pindah nanti.

Sekarang ia memiliki hal yang jauh lebih penting untuk di urus. Ia harus bertemu dengan seseorang dan menghindari satu orang lainnya. Haruka menghela nafas panjang. Ini akan menjadi hari yang sibuk, pikirnya.

Ia melesat melewati gang-gang kecil yang sudah ia hapal setiap sudutnya di kota ini. Anggaplah ini wilayah kekuasaannya. Haruka bergerak menuju arah Tenggara.

Sekitar 10 menit kemudian ia sampai di depan sebuah cafe. Haruka sangsi, apa benar ini tempatnya? Begitu di dalam ia langsung mendapati seorang wanita dengan surai cokelat jahe panjang di sudut ruangan yang terlihat tersembunyi. Wanita itu tersenyum manis dan memanggil namanya untuk segera duduk.

''Apa ada yang salah?'' Ttanya Reika lembut lalu menyesap tehnya.

''Aku hanya tidak menyangka kau mau bertemu di sini layaknya warga sipil biasa. Kau bahkan tidak membawa katana.''Bisik Haruka heran sekaligus takjub. Reika pasti sangat percaya diri sampai tidak membawa katana, pikirnya.

''Aku menitipkan kataku pada pegawai di sini.'' Mata Haruka melotot mendengarnya.

''Ekspresimu itu menggelikan.'' Reika kembali menggunakan suara tegasnya seperti biasa. ''Cafe ini bukan milikku tapi semua pegawai di sini anak buahku. Jadi kau harus tahu posisimu saat ini nona.''

Haruka bisa merasakan dirinya melorot di kursi. Pandangannya tidak lepas dari Reika. Jantungnya berdegup kencang. Bahkan pelayan yang mengantarkan minum untuknya tidak ia hiraukan lagi.

Seperti inikah orang yang sudah lama bergelut di dunia bawah ini? Dia tidak meremehkanku sama sekali padahal aku sendirian. Yang ada ia malah membawaku ke wilayahnya. Aku ingin menjadi seperti wanita ini, Haruka berkata dalam hati.

''So, what is that important thing you wanna talk about?''

Ya, kemarin sebelum Haruka benar-benar pamit pada Reika. Ia sempat meminta untuk bertemu dengan Reika lagi pagi ini dan karena itulah mereka di sini.

Haruka meraih cangkir tehnya, ''Aku sedang memikirkan rencanya untuk membuat kalian berdua berbaikkan lagi.''

Reika tampak tidak terkejut sama sekali mendengarnya. ''Kau juga bilang hal yang sama pada Itoshi dan Rache kan? Sayangnya mereka menolak karena segan padaku.''

''T-tahu darimana?'' Haruka menatap ngeri. Orang dewasa memang mudah mengetahui segalanya.

''There's no need for you to know that.'' balas Reika datar.

Mendadak Haruka teringat sesuatu, ''Soal Itoshi dan Rache, bagaimana kabar mereka berdua?'' Tanyanya penuh harap.

''They're alive and that's it.''

Jawaban itu cukup bagi Haruka. Jadi ia melanjutkan bahasan tujuan awalnya.

''Sebenarnya aku juga masih tidak yakin bagaimana caranya.'' Haruka menundukan kepalanya, ''Tapi aku ingin agar kalian berdua bertemu dulu dan membicarakan ini baik-baik.''

''Sekarang aku mengerti kenapa Rache terus mengerang mengatakan bahwa kau naif dan semacamnya,'' Reika memandang Haruka dengan tatapan geli kemudian ia kembali serius. ''Kalau semudah itu sudah dari dulu aku lakukan. Dan lagi, kalau itu rencanamu harusnya kau tidak mengatakan itu padaku dan langsung membuat setting agar kami bertemu.''

Haruka menghela nafasnya, ''Aku tidak akan menyangkal hal itu.''

''Lalu?''

''Aku yakin ada yang ganjil dengan Nii-san. Mendengar ceritamu, aku memikirkan banyak hal. Semuanya masuk akan tapi tidak di saat yang bersamaan. Uh, aku tidak yakin bagaimana cara menjelaskannya.'' jawab Haruka sendu.

''Aku mengerti dan aku setuju denganmu.'' Lagi-lagi Haruka melotot mendengarnya, kali ini lebih penuh dengan rasa heran.

Reika tidak menggubris sikap Haruka barusan. Ia berdehem pelan. ''Aku tidak pernah mengatakan ini pada siapapun. Mau dengar pendapatku mengenai Tsukino Sein?''

Setelah tampak mempertimbangkannya Haruka mengangguk. ''Tentu saja. Aku juga memiliki pendapat sebenarnya.''

''You first.'' Haruka langsung mengangguk begitu Reika dengan segala wibawa menyuruhnya untuk bicara duluan.

''Aku berspekulasi kalau Ni--Tsukino Sein yang sekarang bisa saja memang bukan yang dulu. Maksudku, ia bisa saja orang lain.''

Haruka meneguk ludahnya. Sebenarnya ia baru saja memikirkan kemungkinan itu kemarin setelah Reika bercerita jadi ia tidak terlalu yakin. Tapi pandangannya melebar takjub begitu Reika mengatakan ini.

''I thought the same thing.''

Weltschmerz [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang