Setelah menempatkannya di tempat tidur, ia keluar untuk memastikan perempuan asing itu tidak berbuat macam-macam.

"Well, hello." Perempuan itu tersenyum.

"Sorry, I think this is rude. But... who are you?" Rivan memicingkan matanya.

"Jangan terlalu formal. Aku Airu Tsunemori. Teman semasa kuliah Au- maksudku Dila."

Ia bisa berbahasa Indonesia.
Namun dengan aksen yang begitu aneh dan pengucapan yang asing.

"Airu... Tsunemori?"

Tatapan tegas yang menyatakan bahwa Rivan tidak mempercayai perempuan bernama Airu itu, akhirnya dengan diikuti embusan napas lelah, Airu membuka ponselnya dan mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang dapat meyakinkan Rivan bahwa ia memang mengenal Dila begitu dekat. Ia tersenyum dan menunjukkan sesuatu.

Sebuah gambar, di mana ia bisa melihat Dila berdiri di samping seorang perempuan yang bernama Airu itu. Lalu di sisi terluar, di sana berdiri Lina dan Yuni yang mengenakan mantel tebal. Tersenyum dengan lebar sembari merangkul bahu Airu.

"Benarkan? Aku juga mengetahui teman Dila. Fadli dan," Airu berhenti sejenak. Terlihat ia beberapa kali mencoba menyebutkan siapa teman dari Dila.

"Her... Hel... Ah! Herlambang."

Rivan terdiam sejenak lalu kembali menatap Airu.
Ia rasa wajah perempuan itu memang tidak asing. Ia pernah melihatnya di suatu tempat namun bukan dalam artian ia bertemu langsung. Beberapa kali matanya memicing, berusaha untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan di kepalanya.

Matanya tak lagi menatap Airu yang berdiri penuh percaya diri -yang kadarnya hampir sama dengan Dila- di tengah ruangan tanpa bergerak sedikit pun. Rivan memandang ruangan keluarga ini dan mencari-cari apapun yang ia rasa begitu familier dengan wajah Airu. Matanya menangkap sebuah figura yang terdapat di meja dekat pintu ruang kerja. Begitu banyak figura yang tersimpan di sana, begitu rapi tanpa ada debu sedikit pun. Kali ini ia yakin bahwa Airu memang sahabat Dila.

Foto yang tertera di sana adalah saat dimana Dila sedang berada di sebuah tempat makan dan di penuhi dengan orang-orang dari berbagai negara jika dilihat dari rupa dan ukuran tubuh mereka.

"Kau bisa pulang." Airu tersenyum halus.

"Apa kau tahu sesuatu mengenai kondisi Dila? Kau terlihat begitu tenang." Tanya Rivan penuh selidik. Sementara Airu tetap tersenyum.

***

Matanya terbuka dengan perlahan ketika ia merasakan sesuatu bergerak di antara kakinya. Cukup berbulu dan buntal. Dila mengela napas panjang dan bangkit untuk menemukan Cat yang diam dengan mata bulat dan bercahayanya tertuju pada Dila. Tatapan itu tak memiliki kesan polos sama sekali. Berbanding terbalik dengan bulu-bulu putih halus yang kucing itu miliki. Membuatnya kesal saja. Cat mendesis.

Ya memang seperti itulah hubungan Dila dengan Cat, terkadang Cat akan begitu manja pada Dila. Namun beberapa saat kemudian akan bersikap kasar dan penuh dengan gejolak.

Ia mengacak rambutnya kasar. Sudah cukup pagi baginya untuk bangun dan melakukan beberapa aktivitas yang biasa ia lakukan. Dila memindahkan Cat dan berjalan ke kamar mandi. Setidaknya ia harus mandi sebelum ada panggilan untuk sembahyang. Itu akan membuatnya terlihat lebih segar.
Karena hal itulah Dila tetap terlihat awet muda di usianya yang sebenarnya tak lagi muda.

Bagaimana pun ia akan menjadi kepala tiga dalam beberapa tahun kedepan.

Dila berhenti sejenak ketika mendengar gesekan antara kertas dan pensil. Pertama, setahunya sejak malam tak ada yang datang kerumahnya. Kedua, ia bahkan tidak mengundang Lina atau Yuni untuk menginap di rumahnya. Ketiga, walaupun ternyata Lina datang, ia pasti akan meneleponnya. Lalu ia memicingkan mata ke arah pintu kamarnya yang kini tertutup. Mengira-ngira siapa yang berada di luar sana.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora