Prolog

8.8K 546 5
                                    

Semarang
00:04

Sudah dua jam aku hanya duduk di ranjang tidurku dan tidak ngapa-ngapain. Di sampingku, ada Salma yang masih dengan setia menghapus air mata sampah yang membasahi pipiku.

Dovan sudah pulang pukul sepuluh malam tadi, setelah dari selepas magrib menungguku di dalam mobilnya; menunggu ku untuk mau mendengarkan penjelasannya.

Sudah lah, malam ini aku kehilangan semuanya.

Mataku terpejam, aku bersandar ke lengan Salma. Pening sekali rasanya.

Astaga, aku sudah sampai sejauh ini, dan kenapa masih belum cukup? Perlahan, mataku kubuka. Jam masih sama, malam ini masih sama. Aku masih di kekecewaan yang sama.

Aku meraih ponsel yang ada di kantung celana jeans-ku, dan tanpa disuruh, jari-jariku menuju fitur galeri. Sekarang, aku menatap nanar dua orang yang ada di layar ponselku. Berpose berangkulan sambil menjulurkan lidah mereka masing-masing ke kamera. Foto terakhirku bersama Dovan, pacar--ugh, mantan pacarku barusan, dua jam yang lalu.

Entah, sudah bolehkah aku melabeli dia sebagai mantan pacar atau belum.

Salma ikut memperhatikan layar ponselku, tapi nggak berkomentar sedikit pun.

Maaf, Sarasyita. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan bersembunyi. Kasih aku kesempatan untuk jelasin.

Kira-kira seperti itulah bunyi voice note yang dikirimnya beberapa jam lalu, saat aku membiarkannya di luar sana menungguku untuk menemuinya.

Ya Tuhan, senaif itu ya, aku?

Aku tahu, beberapa bulan ini kami memang ada sedikit masalah. Sedikit, tapi berkali-kali, berangsur-angsur, dan aku nggak paham kapan semua itu berhenti. Sampai semua itu berhenti, ternyata semua itu juga pergi. Aku nggak pernah kebayang kenapa sampai ada kejadian seperti ini.

Banyak memang perbedaan paham yang baru-baru ini kami alami. Bahkan semakin sering begitu aku memutuskan untuk mutasi ke Semarang. Aku pikir, dengan kami berada di dalam satu kota, semuanya semakin baik. Aku pikir.

Awalnya aku nggak akan langsung kembali ke Semarang hari ini karena rumah sepupuku Salma; tempatku bernaung selama merantau dari Yogyakarta, sedang kosong sore itu karena ditinggal seluruh penghuninya kondangan.


Sampai akhirnya, karena esok harinya aku sudah on schedule, nggak ada pilihan lain; aku menyusul Salma sekeluarga ke venue kondangan. Hotel berbintang lima yang ada di daerah Semarang Barat.

Sampai hal itu terjadi.

Suasana semakin runyam ketika sore itu juga, setelah kejadian paling menyeramkan yang pernah terjadi di dalam hidupku, Dovan bilang akan datang ke rumah Salma sore ini. Aku pikir akan ringan dan mudah ketika harus memaki-maki Dovan atau membencinya seumur hidup saat itu juga. Tapi kenyataannya, mendengar voice note-nya pun aku nggak sanggup.

Sampai akhirnya, seisi rumah, mereka benar-benar menolak kunjungan dadakan Dovan sore itu setelah mendengar penjelasanku.


Aku nggak tahu, aku pikir empat tahun itu waktu yang cukup lama untuk pacaran, sekaligus membangun rasa saling percaya. Astaga, bahkan aku--maksudku, kami berencana akan menikah. Damn it. Dia sudah melamarku.

Almost Home (Complete)Where stories live. Discover now