19. Berjalan Lancar

Start from the beginning
                                    

Oh... Rupanya Ibu Rivan belum percaya sepenuhnya.

"Ah, tutut." Dila tersenyum jahil ke arah Rivan dan mengedipkan sebelah matanya.

Satu ruangan tertawa ketika mengetahui respon Rivan yang begitu malu dan canggung karena diperlakukan seperti itu oleh Dila.

"Aku baru saja melihat Rivan begitu tersipu di hadapan seorang wanita." Laura menepuk bahu Dila jenaka lalu kembali tertawa.

Ia rasa, ia memang sudah dianggap sebagai anggota keluarga mereka. Kehangatan yang tak biasa ini sesungguhnya dapat membuat Dila tak nyaman. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia merasa nyaman dengan mereka. Terlebih Ibu Rivan yang dengan lengan terbuka sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Mereka baru pertama kali bertemu dengan sebuah perkenalan yang layak.

Itu hanya sebuah keterbukaan mereka karena akhirnya setelah 11 tahun, Rivan akhirnya dapat memiliki sebuah hubungan dengan wanita.

Lalu Dila terdiam. Kalimat itu ada benarnya juga. Lagipula ini adalah sebuah kepura-puraan. Ia tak akan terlalu mendalami karakternya hingga akhirnya ia terjatuh dan kecewa sendirian. Ia adalah seorang profesional.

***

"Terima kasih untuk hari ini. Mama sangat suka kue-kue kering buatanmu itu." Ucap Rivan sembari membukakan pintu mobil untuk Dila.

"Tak usah dipikirkan. Aku senang bisa berinteraksi dengan Fairuz. Seperti yang sudah ku bayangkan, ia anak yang baik."

Mereka sudah berada di depan rumah Dila. Rumah besar yang mengintimidasi. Sepertinya Lina dan Yuni sudah pulang mengingat hanya mobil Dila yang terparkir di garasi. Jika diperkirakan, mungkin mereka baru pulang saat sore hari. Keadaan tanaman terlihat segar, pasti Yuni dan Lina yang menyiramnya di sore hari.

Oh ya, ini sudah jam 9 malam.

"Kalau begitu kau lebih baik pulang. Aku mendapat perasaan bahwa ada begitu banyak hal yang harus ku selesaikan di dalam rumah ini."

Surut kelelahan begitu jelas Dila perlihatkan pada Rivan. Sejujurnya ia belum mengerjakan dua page terakhir komiknya. Dan itu kiranya membutuhkan waktu yang lama karena gambar yang mendetail.

"Baiklah. Jangan terlalu kelelahan. Sampai bertemu di kantor?"

Dila mengangkat alisnya ketika tangan Rivan bergerak untuk menyentuh puncak kepalanya.

Yang paling tidak ia sangka adalah Rivan mengacak rambutnya gemas dengan menunjukkan ekspresi yang begitu manis lalu ia masuk kedalam mobil dan pergi begitu saja.

Klise bukan?

Dila tak merespon apapun. Melainkan ia berpikir keras mengapa Rivan repot-repot melakukan hal menjijikkan seperti itu? Jika saja ia bisa mengatakan pada Rivan bahwa sejujurnya ia tak menyukai hal-hal romantis memuakkan penuh delusi, ia akan mengatakannya sesegera mungkin.

Dengan mengendikkan bahunya, Dila pikir betapa tak bergunanya ia menghabiskan energi untuk berpikir hal seperti itu. Toh ia masih memiliki begitu banyak pekerjaan. Dengan malas ia membuka pagar lalu kembali menguncinya. Meraih pot yang tinggi untuk mengambil kunci rumah, karena ia terlalu malas untuk mengobrak-abrik isi dari tas tangannya. Membuka pintu kayu itu secara perlahan hingga cahaya redup menerangi bagian pintu masuk.

Disaat seperti ini, lampu otomatis sangat berguna.

Dila menyimpan high heels di tempat seharusnya lalu ia berjalan melewati begitu banyak figura dan karya-karya miliknya. Berjalan begitu lamban dan ia terhenti tepat di samping kalender. Ada sebuah bulatan merah disana. Ia tak yakin apakah ia pernah menorehkan bulatan itu atau tidak. Kalender itu memang hanyalah sebuah hiasan. Ia selalu melihat tanggal di buku memo miliknya. Hingga terkadang ia tak mengetahui jika akan ada hari cuti bersama ataupun libur nasional. Semua jadwal miliknya adalah mutlak, dan harus ia patuhi. Jadi denagn kata lain, tanggal di dalam memo lebih berkuasa.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now