Napas memburunya kembali tenang ketika mendengar suara lembut dan kalem di ujung sana.

"Waalaikumsalam. Fadli."

***

Di hari-hari biasa ia akan terlihat begitu tenang dan juga malas. Berjalan dengan santai di rumah, bermain dengan Cat dan Turtle, lalu mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan. Kali ini pagi yang cukup berbeda. Ia sudah terlihat begitu sibuk dan tepat pukul 9 tadi ia sudah bergelut di dapur, menyiapkan makan siang untuk Lina dan Yuni. Berlari kesana kemari untuk mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Lina sedang disibukkan dengan pembuatan komiknya, tentu saja Dila tak akan mengganggu karena mengetahui bagaimana rasanya jika ia diganggu saat sedang mengerjakan sesuatu. Dan itu adalah hal yang paling menjengkelkan.

Dila sudah rapi menggunakan pakaian yang dirasa sopan. Ia membuat beberapa toples kue kering khusus untuk keluarga Rivan. Siang ini -pukul 10 tepatnya- Rivan akan menjemput Dila dan membawanya ke hadapan keluarga Rivan. Hatinya tidak begitu tenang ketika waktu hampir menunjukkan pukul 10. Ia yakin bahwa ia akan membantu Ibu Rivan untuk memasak. Makan siang yang benar-benar menegangkan. Ia tentunya tidak ragu mengenai skill memasak yang ia miliki, hanya saja...
Ini pastinya akan sangat berbeda.

"Sudahlah Mbak, jangan risau seperti itu."

Yuni muncul disaat yang tepat.
Ia menggebrak meja dengan tenaga yang cukup kuat, Yuni tersentak sejenak namun ia segera mengerti apa yang sedang terjadi. Dila menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Yuni mengangguk senang dan mengambil alih pekerjaan Dila yang sedang memotong apel itu.

"Untuk makan siang biar aku yang memasak. Mbak harus tenang sebelum 'calon suami' datang."

Dila menatap ngeri Yuni yang kini sedang tersenyum miring ke arahnya. Baru kali ini Yuni jail dengan begitu spontan terhadapnya.

"Kau in-"

Ting.. Tong..

Napasnya tertahan lalu ia tersenyum miris ke arah Yuni. Dengan cekatan ia berjalan ke pintu depan, ia tahu bahwa Rivan tak mungkin berada di pintu depan karena pagar tinggi itu masih terkunci. Dila berjalan ringan, menemukan Rivan yang dibalut kaus biru dengan blazer abu, tampak begitu memesona yang tentunya berhasil -secara tak sadar- membuat Dila merona. Dibukanya pintu pagar itu, memberikan sebuah jalan agar Rivan bisa masuk.

"Apa ini tak terlalu pagi?" Tanya Dila dengan begitu bodoh.

"Entahlah." Rivan mengendikkan bahunya.

"Pasti Ibumu yang menginginkannya. Tunggulah di sini, aku akan mengambil tasku dan sesuatu untuk keluargamu."

Jawaban yang Dila terima hanyalah sebuah anggukan kecil sebelum akhirnya ia berlari kecil dan berpamitan pada Yuni dan juga Lina.

***

Tatapannya tetap tertuju pada kegiatan manusia di balik kaca itu. Jalanan yang begitu padat benar-benar menghambat perjalanan mereka. Dan juga situasi dalam mobil pun tak begitu menyenangkan. Penuh dengan suasana tegang yang entah dikeluarkan oleh siapa. Dila hanya berekspresi datar, seakan tak terjadi apapun dan bahwa mereka baik-baik saja. Namun berbeda dengan ekspresi Rivan yang begitu canggung. Menurut Rivan, mereka akan segera sampai di tempat tujuan. Hanya satu kelokan lagi, lagi, dan lagi...

Dila merengut. Berapa kelokan lagi kira-kira mereka akan sampai?

Ia benar-benar ingin segera menyelesaikan semua ini dan kembali menggarap pekerjaannya.

Dan benar saja, hanya beberapa saat kemudian Rivan menunjuk satu rumah yang tentunya adalah rumah dari keluarga Rivan. Yang bisa Dila lakukan hanyalah menyembunyikan ekspresi tidak tenangnya dengan ekspresi yang begitu datar. Default Expression.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now