Apakah atasanku tidak normal? LGBT? Gay? Homo?

Dila menertawakan dirinya sendiri. Otak kreatifnya itu selalu saja memikirkan hal yang tak penting untuk dipikirkan. Pintu lift terbuka dan beberapa orang masuk ke dalam lift. Tentunya Dila belum bisa masuk. Lift itu terlalu penuh. Sepertinya ia memasuki kloter ke dua.

Dapat Dila rasakan bahwa di balik punggungnya ada yang memperhatikan. Dua pilihan. Antara Rivan atau Herlambang. Membuat bulu roma Dila berdiri. Sesegera mungkin Dila berbalik untuk menemukan orang yang menatapnya secara intens. Saat itu juga Rivan tersenyum ramah padanya. Dila menaikan sebelah alisnya. Berpikir bahwa pria yang kini tersenyum padanya begitu aneh.

Lift kembali terbuka. Tentu saja kerumunan orang itu mempersilahkan atasan mereka untuk memasuki lift terlebih dahulu. Yang membuat Dila beserta Rivan masuk secara bersamaan, diikuti oleh karyawan lain.

Semakin lama lift itu terasa begitu penuh. Tubuh Dila sendiri begitu rapat dengan tubuh Herlambang. Lalu orang di depannya tak sengaja menabrak tubuh Dila, membuatnya tidak seimbang dan refleks mencari pegangan.

Holy!

Dia memegang lengan Rivan. Tak ada unsur merayu, ini jelas sekali sebuah ketidak sengajaan.

"Maaf Pak."

Dila menatap tangan Rivan yang kini gemetar. Sesaat pikirannya kacau. Apa yang terjadi?

Wajah Dila terangkat untuk menatap paras Rivan yang kini terlihat pucat. Beberapa kali ia membasahi bibirnya, mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Jika dilihat, Rivan tentunya bukan seorang pecandu. Karena ia terlihat pucat ketika tadi Dila tak sengaja menyentuhnya. Ia kembali berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan sentuhannya.

Mata Dila kembali tertuju pada bagian lengan yang tadi ia sentuh. Tak terlihat ada luka. Jelas-jelas ia hanya menyentuh bagian itu. Ia tidak menyentuh bagian yang... em sensitif dari pria. Wajah Dila merona ketika otaknya begitu lancang memikirkan hal seperti itu. Kekehan dari Herlambang kembali terdengar.

Semakin ke atas, karyawan di dalam lift semakin sedikit. Membuat Dila dapat bernapas lega karena tak lagi terapit oleh Rivan juga Herlambang. Ketika lift terbuka menunjukkan lantai yang Dila tuju, tak berpikir lama Dila segera melangkah. Meninggalkan rasa penasarannya dari sikap Rivan yang aneh.

Dengan langkah yang elegan, ia memasuki ruangannya. Lalu sedetik kemudian ia tergesa-gesa membuka laptopnya. Mencari-cari apapun yang berhubungan dengan ke anehan Rivan. Ia tentu saja pernah melihat itu. Ia pernah menjadikan ke anehan Rivan sebagai plot cerita komiknya. Dila tersenyum bangga ketika ia menemukan apa yang ia cari.

***

Jam makan siang kali ini begitu ramai. Dila sendiri masih berada di ruangannya. Sandwich dengan daging sapi beserta saus aioli tersaji lezat di hadapan Dila. Beruntunglah Lina tidak membawa saus aioli kebanggaannya. Ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk.

'Kunci di tempat biasa.'

Kemudian ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan. Dila tahu bahwa tak lama lagi akan ada orang -atau kumpulan orang-yang mengetuk pintu ruangannya dan dengan riang mengajaknya untuk makan siang bersama.

Tok... tok...

Dila tersenyum. Ia membawa kotak makan siangnya. Ia berjalan keluar dan mendapati beberapa karyawan -termasuk Herlambang-sedang tersenyum ke arahnya. Dila mengangguk dan mereka mengikuti Dila ke kantin.

Kebanyakan dari pegawai di perusahaannya akan berkumpul di kantin ketika jam makan siang tiba. Jarang sekali yang membawa bekal makanan seperti Dila. Dan mungkin hanya Dila seorang. Beberapa pegawai pernah mengikuti jejaknya sebagai pembawa bekal makan. Namun tentunya hal itu hanya bertahan beberapa saat. Tidak seperti Dila yang sejak masa kuliahnya di Jepang selalu membawa bekal makan. Lalu itu berubah menjadi pola hidupnya.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now