"Ibu, Ayah, Dila mempertimbangkan segalanya. Dan lelaki yang Ayah jodohkan tak bisa menerimaku karena beberapa hal."

Dila mengusap-usap pipinya yang kini memerah dan sedikit bengkak. Air di matanya terus saja keluar. Bukan berarti ia sedang menangis. Hanya satu matanya yang mengeluarkan air.

"Ayah, Dila minta izin untuk pulang. Ada banyak dokumen yang belum Dila periksa. Haha. Dila takut Pak Sudrajat koar-koar di kantor." Candaan itu berakhir dengan senyuman miris di bibir Dila.

"Ini sudah malam. Kamu kan perempua-"

"Dila bisa jaga diri kok. Ayah lupa waktu Dila kuliah dulu, Dila ikut kendo?" Ayahnya menggeleng pasrah. Mempersilahkan Dila untuk pulang.

"Yang akur ya. Dila pulang dulu Bu, Yah."

Dila menghampiri mereka. Menyalami tangan mereka satu persatu. Sebelum akhirnya Dila melangkah keluar kamar mereka.

"Dila nanti transfer uang. Kebutuhan Denia pasti terpenuhi." Ujar Dila tanpa memandang kedua orang tuanya.

Dila mengambil tasnya. Menggunakan mantel hangatnya. Lalu berjalan ke pintu depan. Ekspresi yang ditunjukkannya tak dapat diperkirakan. Ekspresi dingin yang dapat membuat Herlambang memohon untuk meminta maaf.

"Dila berangkat. Assalamualaikum." Suaranya seperti bisikan.

***

"Gee! Rasanya seperti terbakar."

Dila kini berada di minimarket 24 jam. Wajahnya tertutup oleh masker. Ia sudah memasukkan segala makanan ringan kedalam keranjangnya.

"Selamat malam, selamat belanja."

Dila memilih-milih minuman apa yang akan ia beli. Ia butuh sesuatu yang dapat menahan emosinya. Dan ia mulai berpikir untuk memasak begitu banyak makanan dan akan melahapnya sendirian.

"Maulin? Kamu.." Dila menatap pria disampingnya. Sontak itu membuat ekspresinya kembali kesal.

"Heuh... Abang lagi Abang lagi." Jelas sekali bahwa pria tersebut adalah Herlambang.

"Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Pertanyaan yang bodoh. Jelas sekali jika aku sedang belanja."

Dila memukul bahu Herlambang sekuat yang ia bisa. Sementara Herlambang hanya tertawa.

"Maksudku. Kenapa di minimarket ini? Rumahmu jauh loh."

"Aku dari rumah Ayah." Herlambang hanya mengangguk tanda mengerti.

Selama beberapa saat mereka hanya terdiam. Dila sendiri kembali memilih minuman apa yang akan ia beli. Namun suasana itu terganggu karena Herlambang yang kini mengerutkan keningnya beberapa kali.

"Kau ingin mengucapkan sesuatu? Ucapkan."

Herlambang menatap Dila penuh curiga. Sementara Dila hanya menatapnya tak peduli.

"Kau tahu. Pak Sudrajat resign?" Dila memicingkan matanya tak percaya.

"Aku serius kali ini. Ia resign karena pindah ke pedesaan. Ia membutuhkan udara yang sejuk."

Dila memandang Herlambang sejenak. Sebelum akhirnya ia kembali menjatuhkan pandangannya pada lemari pendingin minimarket. Herlambang menatap wajah Dila sesaat. Namun ada sesuatu yang aneh. Warna merah di wajahnya sangat tidak wajar.

"Maulin.. kau disiksa oleh kekasihmu?"

Herlambang menatap horor ke arah Dila yang seperti menganggap cap tangan di wajahnya itu biasa-biasa saja.

"Hm? Ini?"

Dila membuka maskernya. Menunjukan pipinya yang sedikit membengkak dan cap tangan yang tertera secara jelas. Tak lama, ia kembali menutupnya.

"Ada insiden mengerikan terjadi. Gajah keluar dari kandangnya, dan kakinya tak sengaja menginjak pipiku."

Ucapnya dengan ekspresi datar. Membuat Herlambang bertarung untuk menahan tawanya.

"Mengerikan sekali.. pft. Maaf Maul." Dila menatap tajam pada Herlambang.

"Herlambang. Sekali lagi kau memanggilku 'Maul', aku yakinkan akan ada luka membiru di punggung dan dadamu."

"Oh dan akan ada yang menggantikan Pak Sudrajat. Mutasi dari luar provinsi katanya." Herlambang menghapus air di sudut matanya.

"Oh ya?"

"Dan rumor mengatakan bahwa pengganti Pak Sudrajat adalah pria muda. Kejar dia Maulin. Aku ingin melihatmu menggendong bayi."

Herlambang menepuk punggung Dila sekencang yang ia bisa.

"Herlambang! Awas kamu!"

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now