'Aku tidak membicarakan hal buruk tentangnya. Aku hanya menyebutkan apa yang aku pikirkan.'

'Dan kau menganggap Dila itu gadis tidak normal?!'

Dila tersedak oleh napasnya sendiri.

'Kalau bukan itu apalagi? Semua lelaki yang kau jodohkan dengannya selalu saja menolak Dila. Kenapa tidak memperhatikan Denia saja?'

Dila berdiri mematung disana.
Sepertinya terjadi kecemburuan sosial.

'Anak kita bukanlah anak seperti itu! Camkan itu!'

'Itu anakmu! Bibitmu dengan mantan istri mu itu yang telah menghasilkan anak sepertinya!'

Tanpa Dila sadari, kedua tangannya gemetar. Ia tak ingin membayangkan apa-apa yang akan dilakukan ayah selanjutnya. Bibirnya bergetar. Perasaanya kalut. Dila mengusap pelipisnya gusar. Ia sudah menahan napasnya lama.

'Kenapa Mas lebih memperhatikan Dila daripada Denia?'

'Aku sudah menyianyiakan Dila sejak ia remaja, aku kurang memberinya perhatian. Itulah sebabnya aku tak ingin Dila jatuh pada lelaki yang salah.'

Suara ayahnya melembut. Dila bernapas lega.

'Lalu kau tak akan memperhatikan Denia? Anak kita? Begitu?'

Dila menepuk dahinya. Perkataan Ibu tadi pasti kembali menyulut amarah Ayah.

'Siapa yang berkata seperti itu? Aku tidak mengatakannya.'

Terdengar jejak kebingungan di nada suara ayah. Dila mengap-mengap di balik pintu. Mengira-ngira akan resiko terburuk jika ia tertangkap basah sedang menguping.

'Secara tidak langsung kau menyebutkannya tadi. Mas sudah ku bilang kemungkinan besar Dila itu tidak menyukai lawan jenis.'

Dila membuka mulutnya lebar. Seburuk itukah yang terlihat oleh Ibunya?

'Kau mengangkat topik ini lagi? Sudah kukatakan untuk menghentikan semua omong kosong dari mulut kamu itu!'

Dila tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dila sangat mengetahuinya.

Dila membuka pintu kamar itu secara paksa. Beruntunglah pintu itu tidak terkunci. Tangan Ayah sudah terangkat di udara. Dila berlari melindungi Ibunya. Kedua tangannya direnggangkan, tak menginginkan wanita di belakangnya tersakiti.

PLAK

"Ya Allah! Dila?" Seru sang ayah.

Pipi Dila terasa panas. Juga dengungan di telinganya yang kian menyakitkan. Air mata muncul di sudut matanya, menyatakan secara jelas jika tamparan tadi benar-benar mengenai parasnya. Dila mengangkat wajahnya namun tak menatap Ayahnya. Ia menatap Ibunya yang kini berdiri ketakutan. Ia ingin sekali tersenyum, dan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Namun rasanya tidak mungkin dengan keadaan pipinya yang seperti itu.

"Kamu kenapa di sini nak?" Ayah menghampirinya dan segera menyentuh ke dua sisi wajahnya.

"Seorang suami tak seharusnya menyakiti istrinya sendiri." Jawab Dila singkat dengan memandang Ayahnya lembut.

Dila menjauh dari sentuhan Ayahnya. Ia kini berada di antara Ibu dan Ayahnya. Dila menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan diri. Dila tahu bahwa Ayah dan Ibu sedang menahan napas mereka.

"Semua ini bukan berarti Dila menyukai sesama jenis. Bukan."

"I-Itu.." Kalimat Ibu terhenti ketika menatap Dila yang kini mengangkat sebelah tangannya.

Love? Trust? Work? or Hobbies? [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now