Saat ingin mengambil ponselnya yang bergetar, wanita itu melihat tanggal di sebuah kalender yang menunjukkan tanggal 29 April. Tanggal dimana kekasihnya meninggalkan ia sendiri dan pergi ke dunia yang berbeda. Tak ingin kembali ke masa kelam hidupnya, wanita itu pun menyingkirkan kalender tersebut dan mengambil ponselnya yang bergetar.

"Ya, halo?"

"Keira, lo inget hari ini hari apa?"

"Engga, kenapa?" Tanyanya balik. Pura-pura tidak tahu dengan hal tersebut.

"Keira... sampe kapan, sih, lo mau terus-terusan kaya gitu? Lima tahun udah berlalu, Kei. Lo harus mulai ikhlasin itu semua. Lo harus berhenti nyiksa diri lo sendiri."

Keira tersenyum getir. Orang itu memang selalu saja berbicara seperti itu, tanpa tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. "Gampang lo ngomong kaya gitu, karena elo ngga ngerasain apa yang gue rasain!"

"Oke, gue emang engga sepenuhnya ngerasain apa yang lo rasain. Tapi, gue sayang sama lo, Kei. Gue engga tega ngeliat lo kaya gitu terus. Kalo dia masih ada disini dan ngeliat apa yang terjadi sama lo, dia pasti akan ngelakuin hal yang sama kaya gue. Lo harus sadar itu, Kei."

Wanita itu menghela napasnya berat. Ia memang sadar dengan itu semua, tetapi... rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang. Masih membekas dalam di hatinya.

"Gue rasa ini memang saat yang tepat untuk kita berdua merubah segalanya. Gue akan jemput lo sepulang dari kantor. Tunggu gue."

Sambungan telepon pun terputus. Lagi-lagi, wanita itu menghela napasnya. Entah sampai kapan kesedihan ini akan terus berlanjut. Sejujurnya, ia sangat tersiksa. Ia tersiksa tiap kali mengingat kekasihnya itu. Ia tersiksa tiap kali bayang-bayang kekasihnya menghampiri pikiran dan mimpinya. Semua itu akan berujung dengannya kembali seperti dulu. Seperti awal-awal kematian memisahkan ia dengan kekasihnya.

Dilanda kerinduan yang sangat membelenggu, wanita itu pun membuka tasnya dan mengambil surat yang selalu ia simpan di dalam kotak kecil. Supaya tidak akan rusak pikirnya.

Satu butir air mata pun meluruh di wajah cantiknya. Sama seperti dulu. Bahkan, ia sampai hafal dengan tiap-tiap kata yang tertulis di sana. Semua telah tertulis dengan sangat jelas di otaknya, tanpa ada yang tertinggal satupun. Hanya itu satu-satunya barang yang Liam tinggalkan untuknya selain kalung dan juga boneka. Selebihnya hanyalah kenangan-kenangan indah yang mengisi hatinya.

Selesai membaca ulang surat tersebut, ia mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengaliri wajahnya. Keheningan yang tiada henti turut menemaninya dalam kesendirian. Baginya, semua itu sudah biasa. Keheningan dan kesendirian. Benar-benar kombinasi yang sangat menyenangkan, juga... menyedihkan.

"Keira?"

Keira pun menolehkan pandangannya dan melihat Lisa tengah berdiri menatapnya. Ia benci itu, ia benci disaat Lisa memergokinya sedang menangis seperti itu.

"Keira, lo harus mulai menutup hati lo buat dia dan mencari kebahagiaan baru," Lisa menghampiri Keira dan memeluknya erat. Mengelus lembut punggung sahabatnya itu agar berhenti menangisi hal yang sama. "Lo boleh aja sesekali menengok ke belakang, tapi lo harus inget satu hal, jangan lupain apa yang udah ada di depan mata."

"Gue engga bisa, Lis, hati gue terlalu beku untuk itu." Keira pun mengendurkan pelukan Lisa dan menatap ke arah lain. Ia tidak ingin Lisa melihat air matanya yang kembali menuruni wajahnya.

"Hati lo terlalu beku karena lo engga pernah mau berusaha untuk mencairkannya, Kei. Engga selamanya menatap ke belakang itu membuat bahagia. Ada kalanya dimana dia akan pergi dan meninggalkan luka yang sangat dalam. Mulailah menatap ke depan, Keira. Lo harus mulai menatap Samuel yang jelas-jelas selalu ada di samping lo disaat lo terpuruk. Dia selama ini selalu nolak perempuan yang suka sama dia cuma karena elo, Kei. Kenapa? Karena dia selalu percaya kalo suatu saat nanti Tuhan akan menyatukan kalian berdua."

complicated feeling | ✓Where stories live. Discover now