Part 41

20.2K 1.2K 54
                                    

Author POV

Keira sama sekali tidak bisa menghentikan air matanya yang seolah tak akan pernah habis untuk beribu-ribu tahun itu. Walaupun sudah berada di rumah sejak sore tadi, tetapi Keira tetap saja memikirkan ucapan yang dokter bilang tadi mengenai kondisi Liam.

Ucapan yang seolah langsung melemparkannya ke sebuah lubang hitam tak berujung. Tak ada tanah maupun pijakan yang akan menghentikannya. Beratus-ratus belati runcing dan tajam seakan menohok sampai ke dasar hatinya. Menghujamnya langsung hingga dasar lautan sampai ia tak bisa merasakan apapun.

Terlalu cepat.

Itulah yang bergelut dipikiran Keira sejak tadi, hingga saat ini.

Suara decitan pintu terbuka yang berasal dari kamar inap Liam, membuat kedua orang yang tengah gusar itu bangkit berdiri dari duduknya.

Raut wajah yang ditampakkan oleh sang dokter itu membuat mereka makin merasa sangat khawatir dan cemas.

"Bagaimana, Dok?" Tanya Mama Liam sambil menunggu jawaban sang dokter dengan tubuh yang gemetar.

"Lebih baik kita bicarakan di ruangan saya." Dokter tersebut pun segera melangkahkan kakinya, lalu diikuti oleh Mama Liam dan Keira di belakangnya.

Sesampainya di ruangan, dokter itu masih tetap diam tanpa mau berbicara sedikitpun. Omongan yang akan ia sampaikan seakan sangat berat sampai tak bisa dikeluarkan.

Beberapa detik kemudian, dokter itu pun menghela napasnya yang terdengar sangat berat, lalu memejamkan matanya sebelum membuka pembicaraan.

"Saya tidak bisa mengatakan ini adalah sebuah kebenaran, karena setiap manusia telah memiliki hidup yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Takdir yang telah digarisi jauh sebelum kita lahir ke dunia ini. Usia yang sudah ditentukan sejak kita masih berada di surga-Nya. Tetapi, melihat kondisi pasien yang semakin melemah dan jauh dari kata 'sembuh', saya berani memvonis bahwa hidupnya tidak akan lebih dari 4 minggu ke depan.

Saya tidak ada niat untuk membuat Ibu sedih dan merasa terpuruk. Saya memang berkata jujur, karena memang benar ini adanya. Saya sudah banyak menangani pasien dengan penyakit yang sama, Leukimia, jadi saya yakin saya sudah mempunyai pengalaman yang matang sebelum bertindak dan berucap. Saya harap, Ibu tidak memberitahunya. Saya khawatir itu akan membuat keadaan pasien semakin memburuk dan menurun.

Tak menutup kemungkinan juga akan semakin membuat hidup pasien berkurang. Tetapi, Ibu juga harus tetap percaya akan kuasa dan keajaiban Tuhan. Ini hanyalah sebuah perkiraan secara medis. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika Tuhan berkehendak, maka semua akan terjadi."

Seketika, Keira dan Mama Liam merasa bahwa sebuah batu raksasa baru saja turun dari langit dan menghantamnya tepat di ubun-ubun. Entah harus menggunakan apa untuk bisa menutupi rasa sakit itu.

Mereka berdua dengan kompak menangis histeris bersama.

Berlebihan?

Sama sekali tidak.

Orang bodoh mana yang tidak menangis, saat mengetahui bahwa orang yang sangat mereka kasihi dan sayangi baru saja divonis tidak dapat bertahan hidup untuk waktu yang lebih lama?

"Apakah tidak ada cara lain untuk mengobatinya, Dok?" Tanya Keira disela tangisnya itu. Wajahnya terlihat sangat merah dan pucat. Dokter tersebut pun hanya bisa menjawabnya dengan gelengan kepala dan raut wajah bersalahnya.

Sedangkan Mama Liam, ia sudah tidak mampu mengatakan apapun. Tidak ada lagi kata-kata yang mampu menggambarkan apa yang sedang ia rasakan saat ini.

complicated feeling | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang