Namun, satu hal yang ia tahu, anak laki satu-satunya akan pergi meninggalkan dirinya lebih dulu.

Semua ibu pasti akan merasakan apa yang dirasakannya jika berada di posisi seperti itu. Terlebih, ia merupakan Ibunya. Ibu yang telah melahirkannya dengan susah payah dan penuh perjuangan. Ibu yang senantiasa berada di sampingnya setiap saat. Mengasihinya sepenuh hati dengan cinta yang tak akan pernah berhenti sampai ia menutup mata.

Bahkan, ia sangat rela jika memang harus bertukar nyawa hanya untuk membuat Liam kembali sehat. Kembali merasakan keindahan dunia yang terlalu singkat untuk ia nikmati. Hidup bahagia bersama seseorang yang akan mencintai Liam sepenuh hati seperti dirinya.

"Saya mohon, Dok, lakukan apa saja agar dia bisa kembali sehat. Saya akan bayar berapapun yang Dokter inginkan. Tapi, tolong selamatkan anak saya, Dok. Saya tidak akan bisa hidup tanpanya. Dia anak saya satu-satunya, Dok. Tolong saya!" Mama Liam memegang erat tangan dokter tersebut dengan tatapan penuh mohon.

Dokter tersebut sontak refleks memalingkan wajahnya, karena ia tidak tega melihat Mama Liam. "Terlalu beresiko jika saya memaksanya, Bu. Apa Ibu tega harus membuatnya merasakan sakit akibat dari segala upaya penyelamatannya? Lebih baik Ibu terus memberikan kebahagiaan untuknya disisa hidupnya ini." Perkataan sang Dokter pun seakan membawa Mama Liam kembali ke kenyataan yang ada.

"Ba-baiklah. Terima kasih, Dok." Mama Liam melepaskan pegangannya dan mundur ke belakang. Setelah itu, ia segera keluar dari ruangan dokter tersebut bersama Keira.

Ia menyerah dan mencoba untuk merelakan semuanya.

1 bulan?

Bahkan seratus tahun pun rasanya sangat tidak mungkin untuk Keira.

Bagaimana mungkin ia bisa hidup tanpa Liam yang menemaninya? Tanpa Liam yang terus memberikan dukungan untuknya. Tanpa Liam yang selalu peduli dan perhatian terhadapnya. Tanpa canda dan tawa Liam yang selalu menemani hari-harinya.

Apakah Tuhan benci padaku? Pertanyaan itu terus saja berdentam-dentam di benak Keira.

Nyatanya, ia hanya tidak bisa menerima ini semua. Ia tidak mau jika harus kehilangan Liam.

Keira tahu bahwa di dunia ini memang tidak ada yang abadi. Bahkan, untuk manusia dan kehidupan sekalipun.

Namun, haruskah sekarang? Haruskah sekarang disaat Keira baru saja menemukan sebuah kebahagiaan baru? Disaat Keira baru saja menemukan sebuah kesenangan dan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya?

Tiba-tiba, ponsel Keira yang berada di sebelahnya itu menyala. Keira pun menatap wallpaper ponselnya yang menampilkan wajah Liam di dalamnya. Wajah Liam yang tidak sengaja terfoto sewaktu ia mengambil gambar danau saat camping beberapa bulan yang lalu.

Di foto tersebut, Liam terlihat sangat tampan dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Lagi-lagi Keira menangis. Mungkin ia akan menang kejuaraan lomba menangis jika suatu saat nanti memang ada.

Diambilnya ponsel tersebut dan ia elus dengan sangat-sangat lembut. Ia tersenyum dengan hangat seolah-olah itu memang asli wajah Liam yang tengah ia elus.

Apa Tuhan benar-benar rela mengambil dia dariku? Tanya Keira dalam hati.

Keira tahu bahwa layar ponselnya sedari tadi sudah basah oleh air matanya sendiri. Keira tahu.

Namun, ia tidak peduli. Ponsel bisa ia beli beserta perusahaannya kalau ia mau, tetapi apakah sebuah kebahagiaan bisa dibeli? Apakah sebuah senyuman bisa dibeli?

Tidak, 'kan?

Ingin sekali Keira menghubungi Samuel dan menyuruhnya untuk berada di sampingnya saat ini. Memeluknya hangat seperti dulu. Mendengarkan segala masalah yang datang menghampirinya. Memberikan berbagai macam ucapan yang seketika mampu membuatnya tenang. Mengeluarkan segala caranya untuk membuatnya kembali tersenyum dan tertawa.

Tetapi, Keira tidak mau. Ia tidak mau lagi bergantung pada Samuel, walaupun sebagian besar dari dirinya masih sangat membutuhkan sosok Samuel.

Tubuh Keira pun tergerak untuk mengambil sebuah pulpen merah dari dalam night standnya. Setelah itu, ia menuju kalender kecil dan melihat tanggal kemarin yang belum sempat ia robek.

Keira pun dengan segera merobek kalender tersebut dengan kencang. Lalu, terlihatlah sebuah tanggal yang telah membuat semuanya berubah dan hancur berkeping-keping bersama sejuta harapannya.

Lalu, Keira langsung menulis sesuatu di sana...

20 Maret 2015. Terhitung hari ini

Selesai, Keira pun menatapnya selama beberapa saat sambil tersenyum getir. Setelah itu, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Ya, terhitung hari ini.

Terhitung dimana hidup Liam akan semakin berkurang seiring berjalannya waktu.

•••

August 26, 2016.

complicated feeling | ✓Where stories live. Discover now