Saat itu, Jane memang satu-satunya murid kelas sepuluh yang paling cantik. Tidak heran jika para siswa senior menyukainya. Tetapi, saat Keira ditunjuk oleh salah satu anggota osis untuk membawakan sebuah lagi di tengah-tengah lapangan, namanya mulai dikenali oleh seluruh murid. Belum lagi, ia memiliki wajahnya yang juga tak kalah cantik dengan Jane. Ah, mungkin bisa dibilang lebih cantik.

Sejak saat itulah, Jane gencar sekali mencari-cari kesalahan dari Keira. Hingga pada hari terakhir tahap orientasi, ia mencuri tas kardus milik Keira yang saat itu memang wajib sekali dimiliki oleh setiap murid ospek. Alhasil, hal itu membuat Keira dihukum oleh ketua osis dengan menyuruhnya memungut seluruh sampah yang berserakan di sekolah. Jane pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan membuang sampah sembarangan setiap saat. Dan, itulah yang membuat mereka bermusuhan sampai sekarang.

"Lo punya hubungan apa sama Liam?" Tanya Jane dengan sengit saat Keira baru saja keluar dari salah satu toilet dan mencuci tangan di sebelahnya.

Namun, Keira hanya diam. Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab pertanyaan cewek di sebelahnya itu.

"Eh, kalau ditanya, tuh, jawab dong!" Jane mulai naik pitam saat melihat Keira hanya meliriknya sekilas.

Keira tersenyum sinis. "Oh, lo lagi nanya sama gue?"

"Ngga!"

"Oh," setelah selesai mencuci tangannya, Keira pun langsung berjalan menuju pintu keluar. Namun, langkahnya dengan cepat dihentikan oleh Jane yang saat ini sedang menahan tangannya dengan sangat kencang. Mau tidak mau, ia meringis merasakan sakitnya.

"Mau lo apa, sih?" Tanya Keira sengit.

"Jauhin Liam!" Begitu kata jane sambil berusaha keras menahan berontakan yang Keira berikan untuknya.

"Buat apa gue jauhin dia? Emang, hubungannya sama lo apa?!"

"Dia itu bakalan jadi cowok gue. Jadi, gue minta sama lo untuk jauhin dia!"

"Ngga akan pernah gue lakuin hal itu buat lo!" Dengan sedikit kekuatan yang Keira miliki, ia menghentak kencang tangannya hingga tangan Jane yang sedang mencengkramnya kencang terlepas. Dengan cepat, ia keluar dari sana dan membanting pintu dengan keras. Tidak peduli kalau nantinya pintu itu akan rusak. Yang terpenting, ia tidak lagi berada dalam satu ruangan bersama cewek itu.

"Kenapa tangan lo?" Tanya Liam saat ia melihat pergelangan tangan Keira yang sangat merah dan terdapat segaris bekas cakaran.

"Gapapa, kok. Tadi kepentok pintu kamar mandi," Liam mengerutkan keningnya. Seperti tidak percaya dengan jawaban yang Keira berikan.

"Ayo, ikut gue, biar gue kompres tangan lo di uks," Liam pun bangkit berdiri dan menarik tangan Keira cepat. Langsung saja Keira menarik kembali tangannya hingga membuat Liam kembali terduduk.

"Gak usah. Gue engga kenapa-napa."

Liam pun menghela napasnya. "Yaudah, lain kali hati-hati."

Keira mengangguk.

Entah benar atau tidak, Keira melihat bahwa Liam berulang-ulang kali menatap pergelangan tangannya yang memerah dengan tatapan khawatir. Memang, sih, tidak terlalu sakit. Tetapi, warnanya memang sangat kontras sekali dengan warna kulit Keira yang sangat putih. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ia merasa ada sedikit rasa bahagia melingkupi saat melihat Liam seperti itu.

•••


Saat ini, Keira dan Samuel tengah berada di taman yang berada di komplek tempat mereka tinggal. Saat pulang sekolah tadi, seperti biasa Samuel mengajaknya pulang bersama saat tahu bahwa Keira tidak membawa mobilnya.

Taman itu merupakan tempat yang sejak kecil selalu mereka kunjungi. Entah bermain sepeda, bermain kejar-kejaran, atau bahkan melihat pemandangan matahari terbenam adalah hal yang biasa mereka lakukan. Walaupun sekarang waktu bermain mereka sudah tidak sesering dulu, tetapi kalau ada waktu luang seperti sekarang ini, mereka selalu menyempatkan diri untuk ke sana.

"Kei, lo inget engga pas pertama kali kita dibolehin keluar rumah sendiri sama orang tua kita?" Tanya Samuel sambil melihat beberapa anak kecil sedang bermain layang-layang bersama para temannya.

Keira mengangguk. "Inget, kenapa?"

"Tujuan kita waktu itu pergi ke taman ini," kata Samuel sambil berusaha mengingatkan Keira akan kenangan mereka saat kecil dulu. "Waktu itu juga, lo lari-larian di taman ini sambil megang ice cream. Akhirnya, kaki lo kesandung batu sampai berdarah dan berakhir dengan gue yang gendong lo sampai rumah."

Keira tertawa kecil. "Gue engga akan pernah lupa sama kejadian sial itu."

"Engga berasa, ya, kita udah sebesar ini. Dan, engga sampai setahun lagi kita lulus sekolah. Pastinya, setelah itu kita berdua akan sibuk dengan urusan masing-masing. Menata masa depan tanpa bisa kayak gini lagi."

Keira mengangguk lesu. Benar juga, tidak sampai satu tahun lagi, mereka berdua akan lulus sekolah. Sibuk kuliah dan berbagai macam urusan lainnya. Lalu, apakah mereka bisa seperti ini lagi nantinya?

"Lo tahu, kita berdua itu udah terikat, Sam. Maksud gue, kita berdua itu udah ditakdirkan untuk terus sama-sama. Jadi, engga mungkin kalau kita engga bisa kayak gini lagi. Malah, gue yakin banget kalau nantinya bakalan ada hal-hal baru yang akan kita lakuin di masa depan," sahut Keira sambil berusaha meyakinkan Samuel bahwa apa yang diucapnya tidak benar. Ya, walau ia sendiri tidak yakin dengan yang satu itu.

"Lo salah kali, Kei. Mungkin yang lo maksud itu, kita berdua udah ditakdirkan untuk terikat di sebuah pelaminan," Samuel tertawa kecil sambil menatap Keira dengan tatapan menggoda. Sebenarnya, ia sendiri memang sedang serius saat mengucapkan itu. tetapi, karena rasa gugupnya lebih besar, maka dari itu ia pura-pura tertawa.

"Apasih, receh banget."

"Tapi, kalau misalnya itu beneran terjadi, gimana?" Samuel menatap bola mata Keira dalam-dalam. Bola mata yang selalu membuatnya merasa sedang mengarungi lautan samudra di dalamnya. Lautan samudra yang selalu menenggelamkannya di antara antah berantah tanpa takdir yang tak tentu arah jalannya.

"Gue akan jadi orang pertama yang menolak hal itu sebelum lo," sanggah Keira. "Lo tahu ngga, kita itu udah ditakdirkan untuk jadi sahabat selamanya. Jadi, gue yakin banget kalau hal itu engga akan terjadi walau nantinya akan ada kehidupan kedua."

"Puitis banget, Kei," Samuel mencubit kedua pipi Keira dengan gemas. Hal yang paling senang ia lakukan, selain mengacak rambut halus milik cewek di sebelahnya itu.

"Tapi, emang itu kenyataannya, Sam. Pokoknya, gue berharap kalau persahabatan kita ini akan terjalin selamanya. Kalau bisa, sampai kita kakek-nenek dan kematian yang memisahkan," begitu kata Keira, sebelum tangannya tergerak untuk memeluk tubuh Samuel dari samping. Membenamkan wajahnya di dada bidang cowok itu dan memejamkan matanya sejenak merasakan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhnya.

Gue harap, selamanya adalah waktu yang sebentar, Kei.

Samuel pun membalas pelukan Keira dan memberikan sebuah ciuman lembut di puncak kepalanya.

Ya ... ia rasa, ia baru saja mendapat jawaban yang pas atas ucapan Rio kepadanya beberapa hari yang lalu. Dan, ia merasakan yakin sekali dengan teka-tika yang akhirnya baru bisa ia pecahkan sekarang.

•••

[A/N]

Hai, waktu itu, ada yang message aku kalau part ini kurang banget penjelasan karena terlalu banyak dialog. Jadi, aku edit di beberapa paragraf dan mengurangi sedikit dialog yang tidak terlalu penting. Oh iya, kalau ada yang ingat, sebenarnya part ini terdiri dari 3 pov, lho; Keira, Liam dan Samuel. Tapi, aku ubah menjadi pov orang ketiga seperti yang udah aku bilang.

Hope this chapter is more than enough to read and make you guys happy, while im trying my best to make this story better than before. Thank you!❤

Edited on June 27, 2016.

complicated feeling | ✓Where stories live. Discover now