"Annya...."
"Iya kenapa Al?"
"Ehmmm, lo ada biodata pengurus osis angkatan tahun lalukan?"
"Iya ada, kenapa?"
"Gue boleh minta biodata Olivia wakil sekertaris angkatan tahun lalu."
"Buat apa?"
"Gue suka dia."
.
.
.
.
.
"Lo tau gak Al, ada yang confe...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Happy Reading♡
-------------------------- “Aku gak seikhlas itu, ngeliat kamu sama orang lain.”
“Nya, are you okey?”
“Ya-aa kenapa?” Tanya Vannya dengan nada ling-lung.
“Are you okey?” Tanya Bastian sekali lagi.
“Gu-gue baik-baik aja, kenapa?”
“Lo keliatan ngelamun aja dari tadi, lagi banyak pikiran ya?”
“O-ooh enggak. Ini kita pulang nya jam berapa?” Tanya Vannya mengalikan pembicaraan.
“Ini baru jam 9, lo udah mau pulang? Atau lo kurang nyaman di tempat ramai gini?”
“Eh-ehh gimana ya, gue emang kurang nyaman kalau di tempat kayak gini. Jadi ngerasa asing karena gak ada yang di kenal,” jawab Vannya sambil mengambil jus yang ada dimeja.
“Kalau lo gak nyaman kita boleh keluar, toh juga ini bukan acara orang terdekat kita,” Bastian meletakkan gelas jus yang sudah kosong bersiap untuk beranjak dari tempat.
“Tapi kita harus kasih tau Ali sama Kak Oliv, soalnya mereka yang bawa kita kemari,” cegah Vannya yang melihat Bastian ingin beranjak dari tempat duduk.
“Lo gak liat Ali lagi sibuk sama sepupunya yang lain, kalau kita nyamperi mereka pasti aneh. Soalnya kita bukan tamu di undang, nanti gue kabari Oliv kalau kita udah cabut,” Vannya melihat arah pandang Bastian yang mengarah pada sekelompok anak muda yang kuyakini sesepupu Ali.
“Tapi….” perkataan Vannya terputus karna tangan Bastian lebih dulu meraih tangan Vannya dan meraiknya keluar.
_-_-_-_-_-_
Tidak ada manusia di dunia ini, yang tidak bermain sandiwara dalam hidupnya. Bastian bukannya tidak peka dengan sikap Vannya yang terus-terusan memandang Ali dengan tatapan yang berbeda. Bastian tau dari sorot mata Vannya yang sangat jelas terpancar sara kagum Vannya terhadap Ali.
Namun, satu hal yang membuat Bastian tidak perna lelah mendekati Vannya dan terus berusaha untuk mendapatkan Vannya karna belum ada yang menguatarakan perasaannya kepada gadis yang sudah di kagumi selama satu tahun belakangan ini.
Bagi Bastian, Vannya bukan hanya sekedar manis dan anggun. Vannya punya karakter yang bisa menyesuaikan tempat dan kondisi dengan begitu dapat membuat siapa saja bisa betah dan berlama-lama duduk di sampingnya.
Selama satu tahun Bastian menjadi pengagum Vannya, Bastian sudah perna melihat Vannya tertawa lepas, marah, kesal, bahkan sampai Vannya menangis Bastian sudah perna melihatnya. Sewaktu acara from night dimana Vannya tiba-tiba lari dan masuk kerumunan Bastian dengan cepat mengikuti arah lari Vannya menuju kamar mandi. Untuk pertama kalinya Bastian mendengar suara tangisan Vannya yang terdengar sangat menyakitkan.
“Mau mampir makan sate gak Nya, gue ada tempat jualan sate yang rekomendasilah pokonya,” ujar Bastian menyadarkan lamunan Vannya yang sedari tadi memandang kea rah luar.
“Emang gak kemaleman?”
“Sekali-kali keluar malam gak papa kali Nya.” Bujuk Bastian.
“Ya udah deh boleh.”
“Lo boleh sedih, lo boleh terluka. Tapi gue mohon jangan berlarut-larutnya.”
Nyatanya ucapan itu hanya bisa Bastian utarakan dalam hatinya saja.
“Ini tempatnya. Yuk kita turun,” Bastian melepas sabuk pengamannya dan bersiap turun dari mobil di ikuti Vannya.
“Ehh Mas Bastian,” ujar mamang penjual sate.
“ Mang, gimana kabarnya?” Tanya Bastian.
“Kabar mamang baik atuh, Mas nya gimana? Ibu sama Bapak gimana kabarnya?”
“Saya baik Mang, Mama sama Papa juga baik.”
“Syukur kalau gitu. Mas kok kemalaman datangnya, sate saya udah mau habis Mas. kalau pesan kayak biasa udah gak cukup. Ini Cuma ada dua porsi aja tinggalan,” jelas Mamang penjual sate.
“Saya mau makan di sini Mang, dua porsi.”
“Kalau gitu baru bisa Mas. Ayo duduk Mas,” Vannya dan Bastian duduk di tenda sate yang sudah sepi itu.
“Bawa pacarnya ya Mas, ayu tenan?” Tanya sang Mamang yang sedang membakar sate.
Vannya dan Bastian yang mendapatkan pertanyaan begitu pun langsung saling beradu pandang, “cuma temen Mang,” jawab Bastian sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Saya kira pacar Mas Bastian soalnya jarang bawa perempuan kalau mampir. Jadinya, saya kira ini pacarnya Mas Bastian.”
“O-ohh baru temen aja Mang,” ujar Bastian dengan santai.
“Kalau baru temen ada kemungkinan jadian Mas. Saya doain semoga Mas Bastian yang baik bisa cepet jadian sama Mbak yang ayu sampingnya.” Goda Mamang sambil melihat kedua insan yang sepertinya malu-malu.
“Mamang bisa aja. Ini emang cepet mau tutup Mang?” Tanya Bastian mengalikan pembicaraan.
“Kalau hari minggu memang cepat habis Mas, jadi kalau hari minggu bisa pulang cepat. Pada hal ini udah bawa lebih, lagi rejeki ini Mas. Jadi cepat habis,” ujar Mamang yang sudah jalan kearah meja mereka sambil membawa dua piring yang terlihat sate yang sangat menggoda.
“Silakan dimakan Mas, Mbak. Jangan buru-buru makannya, santai aja Mbak, Mas. Saya mau ke depan bentar cari titipan anak saya. Ini saya titip gerobak boleh Mas?”
“Aman Mang.” Jawab Bastian sambil mengancungkan Ibu jarinya.
Setelah kepergian Mamang, Bastian melihat ke arah Vannya yang sedang mengaduk bumbu sate, “ sorry ya Nya kalau gak nyaman jadinya. Mang Dadang soalnya udah jadi langganan sate keluarga gue. Jadinya orangnya suka ceplas-ceplos kalau ngomong.”
“Santai aja kali Bas. Gue juga punya langganan bakso yang 11, 12 mirip Mang Dadang.”
Keduannya pun menyantap sate malam itu dengan di temani canda gurau keduanya. Bastian senang akhirnya bisa dekat dengan orang yang selama ini hanya bisa ia kagumi. Dan sekarang dapat bercengkrama ringan dengannya.
_-_-_-_-_-_
“
Thanks ya Bas, gue jadi enak kalau gini,” Vannya yang sedang membuka sabuk pengaman.
Bastian terkekeh mendengar penturan Vannya, “ada-ada aja lo Nya, kalau lo mau gue bisa aja lo jalan-jalan lebih dari ini. Liburan kali ini lo ada rencana mau kemana gitu?”
“Ehh. Paling balik kampung ke rumah nenek, biasanya gitu sih. Saolnya setiap libur semester gue sekeluarga bakalan sempetin nginap di sana. Emang kenapa?”
“Ohh, gue kira lo free. Rencananya gue pengen ajak lo jalan-jalan gitu missal naik gunung. Lo pernah naik gunung?”
Vannya yang mendengar pertanyaan Bastian pun seketika berubah menjadi sumringah, “Naik gunung?” Tanya Vannya yang terdengar excaited.
“Gue belum pernah naik gunung, tapi sebenernya mau. Masalahnya minta izin ke bokap yang susah,” jawab Vannya sambil membayangkan wajah sang Papa jika ia meminta izin untuk naik gunung.
“Kalau minta izin bisa gue bantu, nanti gue yang bilang sama bonyok lo kalau anaknya pergi sama gue. Gue panti jagain lo Nya kalau lo mau,” ujar Bastian sambil metap Vannya dengan serius.
Berbeda dengan Bastian yang menatapnya dengan serius seakan sedang membujuk kolage untuk bekerja sama, berbeda dengan tatapan Vannya yang terlihat salting mendapatkan tatapan yang dalam dari Bastian, “o-ooh kayaknya gak usah deh. soalnya gue lagi males cari masalah sama bokap gue. Next time aja gue ikut dakinya.” Vannya oun langsung memutuskan kontak mata dengan Bastian.
Bastian yang sadar akan kegugupan Vannya pun juga menunduk sambil menghelah napas, “kalau gitu gue masuk duluan ya Bas,” Vannya pun langsung keluar dari mobil.
“Sebegitu susahnya dapetin hati lo Nya."
_-_-_-_-_-_
S
esampainya di kamar Vannya langsung mengempaskan tas yang di gunakan dan langsung merebahkan badanya di tempat tidur dan memejamkan matanya. Sejenak Vannya berfikir tentang apa yang terjadi hari ini.
“Kenapa sikap lo selalu berubah-ubah gini si Al.”
“Terkadang lo buat gue melayang bagai orang yang paling bahagia dengan segala perhatian kecil. Untuk sekian kalinya gue Cuma lo jadiin pion sebagai batu lompatan buat lo dapetin dia. Disini apa gue yang terlalu tolol buat berharap di cintai sama temen gue sendiri.”
“Ternyata benar tidak ada persahabatan laki-laki dan perempuan tanpa melibatkan perasaan. Dan bodohnya gue malah terlibat dalam hubungan yang abu-abu ini.”