31

1.1K 74 4
                                    

Sudah tiga hari sejak pembicaraan, perdebatan itu, dan sekarang. Tidak ada yang ingin memulai apa pun. Felicia pun memilih tinggal di rumah sakit demi menghindari seseorang yang berhasil membuatnya muak.

Pria itu terlalu egois, terlalu angkuh juga keras kepala. Sedang Felicia sendiri. Mulai kehabisan akal juga kesabaran.

Dia butuh sendiri, butuh berpikir juga menenangkan diri. Ucapan Ervin hari itu berhasil membuatnya syok bukan main. Belum lagi pria itu yang berlaku seenaknya. Membuat Felicia geram.

"Fel, nginep di sini lagi?"

Felicia yang hendak menyesap kopi di tangannya menoleh mendengar pertanyaan dari sahabatnya, Arumi.

"Mmmm,." Felicia hanya bergumam menjawab. Kembali menoleh ke depan dan sibuk dengan kopi di tangannya.

"Tumben betah banget. Kenapa?"

"Lagi capek aja bolak-balik." Mungkin itu bisa menjadi salah satu alasan Felicia untuk terus tinggal di rumah sakit. Rumah Ervin yang cukup jauh jaraknya dari rumah sakit juga Felicia yang merasa lelah sehabis operasi. Dengan begitu, dia memiliki alasan untuk tetap tinggal dan tidak akan ada yang curiga juga banyak bertanya.

"Ini udah tiga hari loh," Sahabatnya itu masih terlihat tak percaya dan keheranan. "Emang laki lo nggak nyariin lo tinggal di sini lama-lama?"

Jika Felicia menikah dengan pria normal, bukan tidak normal dalam tanda kutip. Mungkin pria itu akan mencarinya. Hanya saja pernikahan mereka, hubungan mereka juga interaksi mereka, membuat Felicia berpikir jika suaminya itu memang memiliki kelainan. Dia terlalu angkuh dan sulit untuk diajak bicara dengan kepala dingin. Dan satu-satunya cara agar Felicia tetap waras adalah dengan dia yang menjauhi pria itu sejauh mungkin. Seperti sekarang ini.

"Nggak lah. Dia juga lagi sibuk akhir-kahir ini." Felicia sempat menoleh, menatap sahabatnya sekilas sebelum kembali menghadap ke depan.

Arumi yang mendengar ucapan sahabatnya itu tidak bisa menutupi wajah heran bercampur bingungnya.

"Emang sesibuk apa sih kalian ini? Sampai lo nginep di sini aja nggak dicariin? Lo juga nggak nyariin laki lo yang lagi di rumah. Lo nggak takut laki lo entar digondol cabe-cabean?"

Felicia hanya mengedikkan bahunya acuh, terlihat tidak peduli.

Arumi menggeleng lemah. "Nggak ngerti gue sama hubungan kalian. Orang mah kalau baru nikah tu nggak mau pisah. Bawaannya tu pengennya berduaan aja. Lah, lo?" Dia menatap sahabatnya itu kian tak habis pikir. "Malah milih nginep di sini berhari-hari. Jangan bilang lo lagi berantem lagi sama laki lo?" Tuduh Arumi tepat sasaran. Yang sayangnya, Felicia tidak akan mengatakan semua itu. Dia memilih bungkam dan pura-pura tidak mendengar apa pun.

"Elah, rumah tangga itu biasa kali, Fel. Beratem. Pacaran aja kadang ada marahan sama berantemnya. Gimana sama nikah."

Felicia masih diam dan bungkam.

"Sekarang tu tergantung kitanya aja gimana menghadapinya. Mau menyelesaikannya pakai kepala dingin, cari solusi. Atau malah kabur dan memilih nggak peduli. Ujungnya sih emang nggak akan ada masalah lagi. Tapi bukan berarti masalah kalau didiemin itu selesai sampai akarnya kan? Pasti suatu hari nanti masalah itu bakal naik ke permukaan dan lebih parahnya makin besar."

Diam-diam, Felicia melirik sahabatnya itu. Yang entah mengapa seakan tahu jika ia memang sedang menghindari segalanya.

Arumi mendesah saat melihat kediaman dan bungkamnya sahabatnya itu. "Dah, deh." Dia menepuk pundak sahabatnya itu pelan. "Gue mau cabut nih. Kabari gue kalau lo butuh apa-apa. Gue juga siap jadi pendengar lo kalau lo butuh teman cerita."

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now