28

973 67 2
                                    

Felicia menatap layar ponselnya yang redup. Tidak ada pesan atau apa pun dari seseorang yang sudah seminggu tidak menampakkan batang hidungnya. Seseorang yang sejak seminggu yang lalu menjemputnya di Jogja lalu pergi setelahnya-setelah mengantarnya pulang. Dan hingga kini, tak pernah terdengar kabarnya atau bahkan tahu di mana keberadaannya.

Dia seakan menghilang. Lenyap tanpa jejak.

Mereka tidak pernah komunikasi lagi, tidak pernah mengirimkan pesan atau kabar tentang keadaan satu sama lain.

Bahkan saat Felicia menanyakan keadaan pria itu juga keberadaannya malam itu, pesan Felicia tak pernah mendapatkan balasan hingga hari ini.

Begitu pun saat ia mencoba menghubungi nomor pria itu. Yang awalnya diabaikan, kini menjadi tidak aktif.

Felicia mendesah. Memilih kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Kembali meneruskan langkahnya yang sempat tertunda karna mendadak ia mengingat seseorang yang akhir-akhir ini mengusiknya. Membuatnya bertanya-tanya, kenapa pria itu mendadak menghilang tanpa kabar juga penjelasan?

Langkah kaki Felicia terhenti, wajahnya yang awalnya menunduk mendadak mendongak begitu menemukan sepatu seseorang di depannya. Seseorang yang menghentikan langkahnya.

"Hai, kita bertemu lagi."

Felicia mengerjab-ngerjabkan mata mendengar sapaan ramah itu. Lengkap dengan senyum ramah yang belum pernah ia terima sebelumnya.

"Arnanda?"

"Wah, senang rasanya kamu mengenalku."

Felicia tersenyum kikkuk. Bingung harus merespon bagaimana karna kini, wajah juga ekspresi pria di depannya bahkan menunjukkan keramahan yang tampak berlebihan.

"Kamu sendiri?"

Felicia mengangguk. "Ya." Jawabnya. Yang mengundang senyum Arnanda lebih lebar. Pria itu bahkan kini telah berpindah di samping Felicia. Berjalan lambat sama seperti Felicia yang kini mulai meneruskan langkahnya.

"Ini pertama kali atau...?" Saat Felicia menoleh dan menatapnya. "Rumahmu di ujung sana." Pria itu menunjuk ke arah depan. "Dan aku punya jadwal lari pagi di sini. Dan selama itu, aku tidak pernah melihatmu. Aku pikir ini pertama kalinya kamu lari di sekitar kompleks perumahan ini." Beritahu Arnanda saat Felicia menatapnya lurus.

Seharusnya Felicia tidak usah terkejut saat mendengar pria di sampingnya itu juga tinggal di kompleks perumahan elit itu. Karna dia juga salah satu putra keluarga Artama. Yang pastinya sangat mudah membeli perumahan di tempat elit seperti yang Felicia tinggali sekarang.

"Apa aku salah?"

"Ouh, tidak. Aku memang baru pertama kali lari di sekitar sini." Itu pun karna dia sedang suntuk dan senggang. Karna seseorang yang sering membuatnya sibuk sedang tidak tahu di mana keberadaannya. Juga bagaimana kabarnya.

Dan mungkin, dia tidak akan pernah lari pagi jika seseorang tak membuat pikirannya berantakan akhir-akhir ini.

"Sayang sekali. Padahal aku rasa di sini cukup menyenangkan-" Felicia tidak mendengar apa pun lagi saat tiba-tiba pikirannya melayang-layang.

Pada seseorang yang saat ia menatap pria di depannya. Yang terus berbicara tanpa henti. Membuatnya mengingat seseorang itu. Yang bagaimana bisa jika mereka tidak memiliki kesamaan apa pun.

Cara bicara pria itu, bahkan tidak sama dengan seseorang yang kini Felicia pikirkan. Juga wajah itu, yang entah bagaimana bisa. Tidak ada sedikit pun kemiripan.

Segalanya tak ada yang sama walau Felicia memperhatikan wajah pria di depannya dengan seksama.

Alis, hidung, juga mata. Tidak ada kemiripan sedikit pun. Membuat Felicia bertanya-tanya. Pria yang menikahinya itu, apa lebih mirip pada ibunya? Karna pria itu tampak begitu tampan saat Felicia menatapnya dari jauh. Bahkan pria tampan di depannya ini, tidak ada apa-apa dibandingkan suaminya itu.

Hanya Tentang WaktuOn viuen les histories. Descobreix ara