11

1.1K 43 1
                                    

Felicia menatap apa yang kini berada di depannya. Lalu melirik pria yang sedari tadi duduk di stool. Melipat kedua tangannya di dada dengan wajah tampak angkuh.

Di tatap sedemikian intens, datar juga menguliti. Tentu saja semakin membuat Felicia kikkuk. Dia tampak bingung harus melakukan karna selama ini, dia bahkan selalu mendapatkan apa yang dia mau.

Segalanya pasti telah siap dan disediakan. Sama halnya seperti pria di depan sana. Yang kini tengah menatapnya, tengah mengamatinya dan layaknya siap menelan Felicia hidup-hidup jika dirinya tidak menuruti apa yang pria itu minta atau inginkan.

Menelan ludah berkali-kali. Felicia meraih pisau di depannya. Melirik jejeran bumbu juga bahan masakan yang seharusnya-harus ia olah. Namun dia sama sekali tidak tahu harus melakukan apa dan mengerjakan apa lebih dulu.

Ingin masak apa saja dia tidak tahu, bagaimana cara memasaknya dan-

"Bu Feli butuh bantuan?"

Felicia menoleh, menatap wanita paruh baya yang menatapnya kasihan. Dia adalah Bu Erna. Kepala pelayan di rumah itu. Dan sayangnya, tidak diijinkan untuk melakukan apa yang seharusnya mereka para pelayan lakukan.

Dan kini semua tugas pelayan malah Felicia yang harus melakukannya.

"A-aku..." Felicia sempat melarikan lirikannya pada pria yang sedari tadi masih diam dan mengamati dari tempat duduknya. "Aku tidak tahu harus memasak apa.."

Oh, dia payah sekali dalam urusan dapur.

"Kalau begitu kamu harus belajar mulai sekarang!" Ucapan tanpa rasa bersalah itu hanya dibalas Felicia dengan lirikan sinis.

"Bu Erna, anda tidak keberatan untuk membantu istri saya belajar memasak, kan?"

"Tentu, Mas Ervin."

Felicia mengernyit mendengar bagaimana Bu Erna menyebut Ervin. Namun sama sekali tidak berani bertanya, karna kini tatapan Ervin bahkan lebih mengerikan dibandingkan dengan pisau di tangannya. Setelah melihat sendiri bagaimana pria itu mengancamnya, Felicia bahkan sekarang benar-benr takut pada pria itu.

Bahkan jika boleh memilih, dibandingkan dengan mental, Felicia lebih berani melawan orang yang sering menggunakan kekerasan fisik.

Acara masak itu berlangsung lama dan melelahkan. Felicia bahkan harus rela kulit tangan juga wajahnya terkena cipratan minyak juga bumbu-bumb rempah. Demi tuhan, dia sangat ingin menangis saat ini. Berada di dapur dengan waktu yang sangat lama benar-benar berhasil menguras tenaganya.

"Apa ini benar-benar bisa dimakan?" Ervin menatap jejeran makanan di depannya. Yang lebih parah dari kata 'hancur' semunya benar-benar terlihat tidak layak untuk dimakan.

Felicia yang mendapatkan ucapn tidak sopan itu pun kian menatap pria yang duduk di depannya sinis. Pria itu yang memintanya untuk masak, maka jangan salahkan dirinya jika rasa masakannya lebih hancur dari yang pria itu bayangkan.

"Coba cicipi!" Perintah Ervin tanpa perasaan.

"Kamu yang ingin makan masakanku, kan? Kenapa jadi aku yang harus mencicipinya? Makan saja kalau mau!" Felicia tidak akan mau terus-terusan ditindas seperti itu. Jadi. "Bu Erna, makanan yang aku minta buatkan tadi sudah jadi, kan? Aku ingin makan sekarang. Tolong bawa ke kamar ya?"

Dia sama sekali tidak peduli dengan wajah Ervin yang tampak kesal. Dan berhubung dia tidak ingin makan satu meja dengan pria di depannya. Jadi lebih baik dia makan di kamar.

Menoleh ke arah suaminya dengan wajah puas. "Selamat menikmati masakanku." Akan dia buat pria di depannya menikmati makanan tidak layak dimakan dari hasil masakannya setiap hari. Siapa suruh dia ingin makan masakannya sedang dia tidak pernah memasak.

Hanya Tentang WaktuOnde histórias criam vida. Descubra agora