18

1.2K 69 2
                                    

Beberapa menit Felicia hanya diam. Masih syok juga seakan berusaha mempercayai apa yang saat ini menimpanya. Tubuhnya masih kaku juga kedua matanya hanya bisa mengerjab-ngerjab terkejut. Sampai-tiba-tiba wajah itu menjauh. Kedua mata itu menatapnya juga ada ibu jari yang mengusap bibirnya. Membuat Felicia seakan tersadar dan secepat kilat-langsung mendorong tubuh itu.

Belum sempat bibir itu terbuka untuk mengatakan sesuatu, tangan Felicia lebih cepat bergerak. Menampar wajah itu hingga bisa Felicia rasakan bagaimana telapak tangannya rasa panas layaknya terbakar.

Nafas Felicia memburu, pun kedua matanya yang berkila-kilat penuh emosi. Tapi seakan pria itu tak memiliki rasa bersalah atau semavcamnya. Dengan santai pria itu malah bergerak, melewatinya hingga membuat emosi Felicia kian terasa mendidih.

"Aku akan mengajukannya!"

Felicia sama sekali tidak peduli jika pria itu akan mendengarnya atau tidak. Tapi dia benci ketika ada orang lain menyentuhnya tanpa ijin. Meski itu suaminya sendiri.

"Aku setuju untuk bercerai!" Sekali lagi Felicia mempertegas ucapannya. Membuat Ervin yang sempat menghentikan langkahnya pun terdiam. Dia terdiam kaku beberapa saat.

"Aku juga yang akan mengurus surat perceraiannya itu!"

Hening. Diam beberapa saat sampai Ervin kembali meneruskan langkahnya. Keluar dari kamar tanpa mengatakan apa pun. Membuat Felicia yang mendengar suara pintu tertutup pun melangkah ke arah ranjang. Sedikit tertatih dengan tubuh yang masih terasa gemetar.

Dia tangkup wajahnya itu dengan telapak tangan. Ia tutup. Menyembunyikan air matanya diantara rasa marah juga sesak yang ia rasakan.

Dia masih bisa menolerir sikap Ervin selama ini. Setidaknya pria itu tidak pernah menyentuh fisiknya melewati batas. Pria itu masih sedikit berlaku sopan.

Ucapan pria itu memang kadang sadis dan tak berperasaan. Namun ada kalanya dia tidak melewati batasannya. Bahkan selama mereka menikah, pria itu akan tidur dengan jarak yang lumayan jauh. Juga tak melewati batas saat Felicia meletakkan guling diantara mereka.

Juga membiarkan kamar Felicia ambil alih saat dia hendak bersiap ingin pergi. Pria itu akan memilih mengurung diri di ruangan kerja pria itu disaat Felicia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Juga akan tidur lebih dulu jika Felicia belum tidur. Nanti saat Felicia tertidur lebih dulu. Pria itu akan tidur di kamar lain. Seakan benar-benar membuktikan jika pria itu benar-benar bukan pria brengsek.

Tapi siang ini, pria itu benar-benar membuat Felicia harus memikirkan ulang tentang pandangannya pada pria itu. Sekalinya brengsek, selamanya pasti akan tetap begitu. Pria itu bahkan menciumnya tanpa permisi.

Masih dengan menutup wajahnya, isakan Felicia terdengar. Dia merasa kesal saat bibirnya bahkan dicium tanpa permisi. Membuat dia benar-benar kesal karna pria itu bahkan tidak hanya menghargainya, tapi juga merendahkannya.

****

Keluar dari kamar, Ervin melangkah menjauh. Terus melangkah hingga kini dia berhenti di ruang tengah. Menatap kakek juga pria yang seusia papanya. Yang kini menatapnya dengan senyum terkulum.

"Apa kakek tidak punya pekerjaan lain selain mengintip kegiatan orang?"

Tuan Anjas sempat berdehem. Melirik ke arah asistennya yang kini juga tengah melirik ke arahnya.

"Apa yang kamu katakan, Ervin. Kakek sama sekali tidak mengerti."

Ervin mendengus mendengar ucapan kakeknya yang pura-pura bodoh itu. Apa mereka kira Ervin bisa dibodohi hanya seperti itu? Hanya karna Ervin tidak melihat orang dibalik kamarnya. Yang sempat mengintipnya, tapi bukan berarti dia tidak tahu siapa orang itu.

Hanya Tentang WaktuUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum