10

1.2K 54 1
                                    

Pukul delapan pagi Felicia langsung dibawa oleh Ervin di kediaman pria itu. Dia bahkan berkali-kali tampak menatap kedua orangtuanya.

Ragu antara ikut dengan lelaki yang memiliki temperamental buruk atau mengatakan pada orangtuanya tentang semua.

Namun saat lagi-lagi dia tak memiliki pilihan lain. Pada akhirnya Felicia pun mengalah. Ikut Ervin ke kediaman pria itu dan kini di sinilah Felicia.

Berdiri dan mengamati suasana rumah yang tampak begitu modern namun terasa dingin itu.

Rumah bercat serba hitam dan putih itu memang tampak begitu elegan di mata Felicia. Namun Felicia tahu jika di rumah itu pasti segalanya tak akan pernah mudah.

"Di sini kamu bisa mulai belajar semua hal."

Felicia menoleh pada pria yang tiba-tiba mengeluarkan suaranya.

"Saya akan sarapan di rumah pukul tujuh pagi." Wajah itu menoleh. Balik menatap Felicia. "Dan saya tidak tertarik untuk makan masakan pelayan. Jadi pastikan pukul tujuh pagi kamu sudah selesai menyiapkan sarapan."

Felicia berdecih sinis. "Sarapan? Kamu kira-"

Felicia menghentikan ucapannya saat tiba-tiba Ervin memutar tubuhnya dan melangkah ke arah Felicia.

Ervin terus maju dan mendesak Felicia hingga kini tubuh Felicia menabrak sebuah pinggiran lemari yang berada di dekat dinding. "Apa peringatan saya belum cukup semalam?! Haruskan saya mengatakan jika saya benci jika ada orang yang suka mendebat apalagi melawan?!"

Ervin terus maju hingga punggung Felicia benar-benar mentok. Membuat ia sama sekali tidak bisa bergerak apalagi menghindar.

"Jadi, Felicia.." Dia usap wajah itu. Membiarkan tangannya menyentuh samping wajah Felicia. Membuat Felicia kian beringsut takut. "Turuti semua ucapan saya jika tidak ada ingin hidup kamu menderita atau bahkan tersiksa."

Ervin bergerak menjauh. Membuat Felicia seketika bisa kembali bisa bernafas lega. Apalagi saat pria itu melangkah menjauh darinya. Berdiri memunggunginya.

"Kamu bisa menyiapkan sarapan pukul tujuh pagi. Makan siang pukul dua belas siang dan-" Ervin berbalik. Menatap Felicia yang hanya diam dan menutup mulutnya rapat. "Kita bisa makan malam pukul delapan malam. Jadi pastikan profesimu sebagai seorang dokter bedah tidak membuatmu melupakan kewajibanmu."

Setelah mengatakan itu Ervin pun berbalik dan pergi. Tapi baru tiga langkah pria itu melangkah, langkah kakinya sudah terhenti. Dia berbalik dan kembali menatap Felicia. "Oh, ya, saya juga tidak suka jika ada orang lain membersihkan kamar kita. Apalagi menyentuh seluruh barang-barang kita. Jadi pastikan sebelum kamu memulai aktivitasmu, siapkan seluruh keperluan saya dan juga jangan lupa bersihkan kamar kita. Setelah itu kamu boleh pergi ke mana pun. Termasuk ke rumah sakit."

Pria itu pergi. Benar-benar pergi hingga tubuhnya tak lagi terlihat. Membuat Felicia benar-benar geram dan marah. Segala yang pria itu ucapkan benar-benar tidak masuk akal. Dan, apa katanya tadi? Felicia harus menyiapkan semua keperluan pria itu?

Mimpi!

Jangan pernah berharap Felicia akan melakukan semua yang pria itu katakan.

****

Ervin membawa langkahnya masuk ke dalam rumah besar di depannya. Rumah yang dulu sangat senang ia kunjungi dan datangi.

Namun beberapa tahu  terakhir, sangatlah ia hindari.

Dia hanya akan datang jika papanya memintanya. Itu pun hanya untuk urusan penting dan genting. Sisanya, Ervin akan sangat menghindari untuk datang ke rumah besar itu.

"Ervin, kamu sudah datang?" Teguran papanya hanya dibalas Ervin dengan anggukan kepala sekenanya.

"Apa yang ingin papa bicarakan?"

"Di mana Felicia? Dia tidak ikut?"

"Pa-"

"Papa hanya sedang ingin makan siang dengan menantu papa. Karna itu papa memintamu untuk datang."

Ervin mendengus kesal. Wajahnya bahkan kini berubah keruh dan marah.

"Kenapa, jangan bilang kalau kamu tidak membawanya ke sini?" Tuduh Bram tepat sasaran.

"Jika tidak ada yang ingin papa bicarakan, Ervin akan pergi sekarang!"

"Ervin!" Tegur Bram tidak suka. Menghentikan langkah putranya yang sudah akan berbalik. "Papa belum selesai bicara, Ervin!"

"Pa!" Geram Ervin tertahan. Saat suara papanya terdengar menggelegar. "Ervin sudah bilang, kan? Kalau Ervin setuju untuk menikahi putri om Jagad asal papa berhenti merecoki hidup Ervin. Berhenti ikut campur apalagi dengan rumah tangga kami!"

"Jadi sekali lagi Ervin katakan, Pa. Berhenti menyuruh Ervin ke sini jika hal itu hanya untuk hal-hal nggak masuk akal seperti sekarang!"

"Nggak masuk akal?" Ulang Bram terdengar tak percaya.

"Memangnya papa kira dengan meminta Ervin ke sini dengan membawa Felicia adalah hal yang masuk akal?"

"Tapi papa hanya ingin dekat dengan menantu papa, Ervin!"

"Katakan itu sebelum papa bersikap terlalu ikut campur dan egois!" Ervin berbalik. Pergi.

"Ervin!" Teriak Bram. Yang sayangnya diabaikan begitu saja oleh Ervin.

Pria itu bahkan kian melebarkan langkahnya disaat papanya terus memanggil namanya. Memintanya untuk berhenti dan kembali. Yang sayangnya sama sekali tidak membuat Ervin berhenti apalagi kembali.

"Pa? Ada apa?" Bram menoleh. Menemukan istrinya yang datang tergopoh-gopoh begitu mendengar teriakannya.

Menoleh ke arah pintu dan wajah suaminya secara bergantian.

"Mana Ervin dan Felicia, Mas? Mereka-"

"Ervin tidak membawa Felicia ke sini. Dia bahkan marah."

Ada desahan tertahan yang keluar dari bibir istrinya itu. Yang kini paham betul bagaimana suasana hati suaminya.

Suaminya itu, pasti begitu sedih karna sikap putranya itu.

"Sabar, Mas. Ervin pasti masih butuh waktu."

Bram menatap istrinya. Menggeleng dan tampak kian kecewa. "Aku sudah benar-benar membuat mengecewakan putraku, Ra. Dia pasti semakin membenciku." Ucapan itu. Semakin terasa menyayat hati Bram. Terutama saat menemukan sikap putranya yang dari hari ke hari kian terasa marah juga begitu membencinya. Terutama setelah banyak kesalahan yang telah ia lakukan. Yang pastikan kian menorehkan banyak luka di hati putranya itu.

****

Felicia melirik ke jam dinding kamarnya. Kini dia berada di kamar. Duduk di sofa dengan pandangan fokus pada televisi. Menampilkan tayangan film favoritnya.

Sudah lama sekali Felicia tidak merasakan hidupnya setenang ini. Masa bodo dengan segala perintah Ervin dan peringatan pria itu.

Toh, sekarang dia sudah menikah. Tidak mungkin pria itu melakukan hal gila padanya kan?

Sedang terlalu fokus menatap layar lebar di depannya. Tiba-tiba layar di depannya gelap. Mati total hingga membuat Felicia panik dan bangkit. Dia meraih remote dan menekannya berkali-kali. Berharap bisa membuat televisi kembali menyala.

Tiba-tiba telivisi menyala. Menampilkan sebuah gambar dan sesuatu yang membuat Felicia mundur. Dia tampak terkejut dan syok.

Tubuhnya bahkan langsung terduduk di atas sofa. Dengan wajah pias juga jantung yang berdebar tidak karuan.

Lalu setelahnya, ada siulan seseorang di belakang tubuhnya. Saat menoleh.

"Mengabaikan perintah, eh?"

"E-ervin?"

"Lakukan apa yang saya katakan jika kamu tidak ingin semua video itu menyebar dan membuat semua orang tuhu bagaimana sikapmu selama ini, Felicia! Saya yakin, image dokter teladan dan baik hati pasti akan luntur saat semua orang tahu jika kamu adalah seorang pembunuh!"

Tubuh Felicia menggigil. Bergetar hebat dengan pikiran yang kini mulai menggali segalanya. Yang membuat keringat dingin kini bercucuran di pelipisnya.

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now