8

1.1K 49 0
                                    

Felicia sudah akan membuka mulut, hendak menyela ucapan pria di sampingnya-yang benar-benar gila dan tak tertolong lagi. Hei, sejak kapan Felicia mengatakan bersedia menikah dengan pria gila ini? Namun genggaman tangan pria di sampingnya yang tiba-tiba, juga tatapan pria itu yang menatapnya membuat Felicia kehilangan kata. Terutama saat semua orang juga menatap ke arah yang sama.

"Jadi kalian setuju untuk menikah?" Ucapan itu terdengar dari bibir papanya. Dan langsung membuat Felicia bangkit dari duduknya.

"Nggak. Aku-"

"Maaf, boleh aku bicara dengan calon istriku sebentar, kan?" Seru Ervin seenak hati. Yang lagi-lagi menghentikan ucapan Felicia. Dia menatap pria di sampingnya itu dengan wajah kesal.

Tapi seakan tak peduli, Ervin segera meraih tangannya. "Ayo." Ujarnya. Yang mau tidak mau membuat Felicia pun pada akhirnya menyerah. Dia mengekori pria di depannya dengan setengah hati.

Mereka keluar dari restoran, melewati beberapa orang yang menatap penuh penasaran hingga mereka berhenti di parkiran.

"Masuk ke mobil!"

"Aku tidak akan ke mana pun!" Felicia melipat kedua tangannya di dada. Sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan Ervin yang seakan mengulitinya.

"Felicia!"

"Kamu sudah setuju untuk membatalkan perjodohan ini, kan, Tuan Muda Ervin?! Lalu apa ini? Apa kamu benar-benar pria brengsek yang tidak bisa menepati ucapannya?!" Felicia tampak tersungut-sungut penuh emosi. Kedua matanya pun sudah tampak marah dan kesal.

"Masuk ke mobil! Kita bicara-"

"Atas dasar apa aku harus mengikuti ucapanmu?!"

Ervin pernah mendengar itu, dan dia benci ketika ucapannya harus di balikkan dan di debat. Jadi, membawa langkahnya mendekat, melangkah ke arah wanita yang menatapnya penuh permusuhan.

"Masuk ke mobil dengan suka rela atau saya harus memakai kekerasan?!"

"Kamu-"

"Dokter Felicia! Selagi saya bicara baik-baik, lebih baik anda masuk ke mobil atau saya yakin anda pasti tahu jika saya bisa melakukan hal gila jika sampai anda bersikap bodoh!"

Kedua mata Felicia memicing. Tampak kian kesal dan marah.

"Pernah membuat seorang pasien meninggal karna kebodohan anda? Apa saya perlu menjadikan itu sebagai bentuk peringatan?!"

Wajah marah dan penuh dendam Felicia surut. Dia tampak tersentak dan terbelalak lebar. Bayangan apa yang pernah ia lakukan dulu bahkan kini memenuhi kepalanya. Membuat wajahnya pias seketika.

"Masuk ke mobil jika tidak ingin saya membahas hal yang mungkin bisa membuat anda merasa bersalah lagi." Bisik Ervin puas. Membuat Felicia pada akhirnya tidak punya pilihan lain selain mengalah. Dia masuk ke dalam mobil seperti yang pria itu inginkan. Menutup pintu mobil keras hingga terdengar dentuman yang cukup keras. Membuat Ervin pada akhirnya menarik seringainya puas.

Dia berbalik, melangkah ke arah mobilnya dan masuk. Duduk di kursi kemudi dengan tangan yang mulai menyalakan mobil.

Mereka meninggalkan restoran, dengan suasana mobil yang terasa hening dan sepi. Felicia yang biasanya merasa marah setiap kali bertemu dengan pria yang menurutnya gila bahkan kini berubah menjadi pendiam. Pikirannya terasa berkelana dan melayang-layang ke mana-mana. Sama sekali tidak peduli dengan keberadaan pria di sampingnya.

Ervin membawanya ke sebuah danau buatan. Suasana di sana begitu sepi dan gelap. Bahkan saat mobil itu berhenti, Felicia baru sadar di mana tempat mereka saat ini.

Diam-diam dia melirik pria di sampingnya. Yang kini hanya menatap lurus ke depan.

"Kita akan menikah! Setuju atau tidak, saya akan tetap menikahi kamu."

Felicia menelan ludah susah payah. Segala keberanian juga semua kepercayaan dirinya hilang hanya karna mendengar ucapan pria di sampingnya. Yang tanpa dia duga mengetahui rahasia di hidupnya. Satu pertanyaan yang kini sangat mengganggunya.

Bagaimana pria ini bisa tahu?

"Jadi saya harap kamu mau bekerja sama, Nona Felicia. Itu pun jika kamu tidak ingin semua rahasiamu diketahui orang lain." Ervin menoleh, menarik seringainya lebar. "Saya yakin, kamu pasti tidak ingin di cap sebagai pembunuh, kan?"

Felicia menelan ludah susah payah.

"Jadi," Ervin mengulurkan tangannya. Menepuk puncak kepala Felicia lembut. "Jadilah gadis penurut jika tidak ingin membuat saya marah dan membongkar semua rahasia kamu. Dan sekedar informasi, bukan hanya satu rahasia yang saya tahu tentang seorang dokter Felicia. Dan saya yakin, kamu pasti tidak ingin saya mengatakan semua itu pada kedua orangtuamu, kan?"

Felicia hanya bisa diam. Membungkam mulutnya, bahkan sampai mereka tiba di kediaman kedua orangtuanya. Lalu mobil Ervin pergi meninggalkannya di teras rumahnya. Felicia hanya bisa diam. Menatap lurus mobil yang kini tak lagi terliht. Namun entah mengapa tak membuat Felicia beranjak dari tempatnya. Dia masih diam. Berdiri kaku di sana dengan pandangan kosong.

"Sayang?"

Tepukan dan teguran tiba-tiba di sampingnya membuat Felicia berjengkit. Dia nyaris berteriak kalau saja tidak melihat siapa orang yang mengejutkannya.

"Kamu ngapain berdiri di sini? Ervin udah pulang, kan?" Mamanya menatap ke arah mobil Ervin yang menghilang tadi. Hanya sesaat sebelum kembali menatap ke arah putrinya.

"M-mama belum tidur?" Sekuat tenaga felicia menjaga intonasi suaranya agar tidak bergetar. Meski kini perasaannya berubah berantakan hanya dengan memikirkan sesuatu yang sudah lama ia pendam dalam-dalam.

"Mama nunggu kamu dari tadi."

Felicia hanya bisa pasrah saat mamanya menarik tangannya, membawanya masuk ke dalam rumah dan mereka berjalan berdampingan.

"Kamu beneran mau menerima perjodohan itu?"

Seharusnya Felicia mengatakan 'tidak' dan mengatakan bagaimana mengerikannya pria itu. Namun kata

Bersikaplah menjadi wanita penurut, maka semua tidak akan membuatmu terluka. Juga orang-orang yang kamu cintai.

"Hmm,.."

"Bener?"

Felicia menoleh, menatap mamanya yang kini tampak menatapnya dengan kedua mata tak percaya. Ada keheranan juga sanksi di sana. Yang Felicia balas hanya dengan senyuman kaku.

"Menikah dengan Ervin..." Felicia menelan ludah susah payah. "Kayaknya nggak begitu buruk, Ma." Setelah ucapan itu, Tubuh Felicia langsung di tarik. Di peluk erat, lalu ada gumaman penuh bahagia dari mamanya. Juga rasa syukur yang berkali-kali mamanya ucapkan. Tampak sekali jika mamanya itu begitu senang dengan jawaban yang Felicia berikan.

"Kamu serius, kan, Nak?"

Felicia hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan itu.

"Nggak akan berubah pikiran?"

"Y-ya."

Sekali lagi, ada pelukan erat yang Felicia terima. Di barengi dengan teriakan mamanya yang memanggil papanya. Mengabarkan jika apa yang Felicia katakan tadi, adalah sebuah kabar bahagia. Yang harus di rayakan dan di bagi-bagikan pada siapa pun. Yang patut membuat semua orang bahagia. Yang sayangnya kini malah membuat Felicia kian merasa takut dan gemetar hebat.

Akan seperti apa hidupnya setelah ini? Akan semakin jauh lebih baik, atau malah hancur berantakan?

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now