5

1.4K 71 0
                                    

Felicia memegang pulpen di tangannya erat. Mencekramnya kuat demi melampiaskan kekesalannya. Masih jelas diingatannya bagimana seorang Aryanda Ervin Artama itu memperlakukannya di pagi tadi.

"Kenapa? Saya benar, kan?!"

Felicia berusaha mengabaikan itu, dengan suara rendah layaknya tak terjadi apa-apa. Dia menatap pria di depannya itu lurus. Meski terlihat jelas jika ia ingin mencekik pria itu, namun jelas Felicia tidak akan melakukan itu. Dia harus menahan diri untuk tahu apa yang akan pria di depannya lakukan saat ini.

"Aku ingin bicara. Jadi-" Ekor matanya melirik sekeliling. Di mana ada beberapa pasang mata yang berusaha mencuri lirik penuh penasaran. "Bisa kita bicara sebentar?"

"Tapi bukan di sini." Tambah Felicia saat dengan santai pria di depannya malah memasukkan kedua tangannya di saku celananya.

"Atas dasar apa saya harus ikut dengan kamu?"

"Kamu tidak lupa jika aku adalah calon istrimu, kan?"

Satu alis Ervin terangkat tinggi. "Jadi kamu setuju menikah dengan saya?"

Felicia menarik nafas dalam dan panjang. Terlihat sekali jika dia tengah menahan diri untuk tidak marah dan memaki. "Karna itu kita butuh bicara, Ervin."

Ervin menarik lengannya, menekuknya, melirik jam di pergelangan tangannya baru setelahnya menatap ke arah wanita di depannya. "Kamu bisa datang lagi di jam makan siang. Jangan terlambat atau kamu tidak akan mendapatkan apa pun!" Setelah mengatakan itu, dia berbalik. Melenggang pergi begitu saja tanpa mau repot-repot menunggu jawaban dari Felicia. Membuat Felicia pun memejamkan matanya erat.

Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak meneriaki pria di depannya yang berlaku seenaknya.

Sekarang//

Tidak peduli jika pulpen ditangannya bisa patah karna cengkramannya, Felicia terus mencekramnya hingga tangannya berubah warna.

"Ada masalah?" Felicia mendongak, menemukan sahabatnya yang baru saja masuk ke dalam ruanganya dan menatapnya heran.

"Gue udah ngetuk pintu dari tadi. Berkali-kali." Berutahunya saat Felicia menatapnya.

Felicia mendesah, menopang pelipisnya dengan kedua tangan. Otaknya terasa panas sejak pagi. Masih ingat bagaimana mamanya pagi tadi mengatakan padanya jika keluarga Om Bram mengajaknya makan malam minggu depan. Yang bisa ia simpulkan sedikit jika bisa jadi pria itu setuju dengan pernikahan ini.

"Lagi ada masalah, ya, Fel? Muka lo keliatan kusut."

Felicia melirik sahabatnya Arumi. Baru kemudian mendesah panjang dan terdengar berlebihan. "Gue mau dijodohin."

"WHAT?!" Buru-buru Arumi membekap mulutnya. Berdehem pelan saat sadar jika responnya pasti berlebihan. "Jadi lo mau nikah?"

Felicia mengangguk.

"Syukur deh."

Wajah kusut Felicia surut, kedua matanya melotot, menatap sahabatnya tak percaya. Membuat Arumi bisa menebak isi kepala sahabatnya itu.

"Kenapa? Cowok yang mau nikah sama lo nggak masuk standar?"

"Menurut lo kalau dia masuk standar gue bakal sepusing ini?"

Arumi diam beberapa saat. Tanpak berpikir. "Buat ukuran orang yang nggak pernah pacaran. Kayaknya standar tipe lo terlalu tinggi."

Felicia hanya melirik sahabatnya tanpa minat.

"Tapi coba deh, Fel. Standar lo di turunin dikit. Mana tahu aja cocok. Kita aja kalau beli baju-"

"Lo kira nyari suami kayak beli baju harus di turunin harganya? Ini itu buat teman hidup, Arumi. Bukan beli baju di pasar."

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now