15

1.2K 61 1
                                    

Ervin marah. Sangat marah sampai dia begitu ingin membunuh seseorang atau sekedar melampiaskan amarahnya. Namun dia tahu jika segala yang diucapkan ayahnya sama sekali tidak bisa dibantah. Jadi di sinilah dia saat ini.

Berdiri di depan rumah sakit tempat Felicia bekerja. Dia sudah menghubungi wanita itu. Mengatakan keberadannya yang sayangnya sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Panggilannya diabaikan, begitu pun dengan pesannya yang diacuhkan. Membuat Ervin berkali-kali mendengus dan merasa kian jengkel.

Tidak punya pilihan lain selain masuk. Akhirnya Ervin menyerah, masuk ke dalam rumah sakit dan mengedarkan pandanganya ke penjuru arah. Tampak mencari-cari. Berharap akan ada sesuatu yang bisa membantunya mendapatkan informasi tentang Felicia.

"Permisi, Suster?" Tegurnya pada suster yang hendak melewatinya.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"

"Apa anda tahu di mana ruangan dokter Felicia?"

"Apa anda sudah membuat janji?"

Ervin menggeleng. "Belum."

"Maaf, kalau begitu silahkan-"

"Saya suaminya."

"Ya?" Wajah itu seketika berubah syok. Menatap Ervin dengan terkejut bercampur tak percaya.

"Apa suaminya jika ingin bertemu dengan istrinya juga harus membuat janji?" Tanya Ervin, saat suster di depannya hanya diam menatapnya lurus.

"O-oh, Maaf. Saya tidak tahu,"

"Tidak masalah. Jadi bisa tolong tunjukkan di mana ruangan istri saya, kan?" Berhubung saat ini Ervin sangat membutuhkan wanita yang berstatus istrinya itu. Maka dia tidak akan membuat masalah atau mempermalukan wanita itu.

"Tentu, mari saya antar."

Dengan senang hati Ervin pun mengekori suster di depannya. Yang memimpin jalan dan beberapa kali mencuri lirik ke arahnya. Yang sebenarnya membuat Ervin kesal dan jengah. Namun karna ada sesuatu yang penting kali ini. Maka dia akan berusaha abai dan tidak peduli.

"Ini ruangan dokter Felicia, Pak. Anda bisa tunggu di sini di dalam. Tapi mungkin anda harus menunggu dokter Felicia karna beliau sedang melakukan operasi."

Ah, pantas saja wanita itu mengabaikan panggilannya juga pesannya. Karna nyatanya wanita itu sedang sibuk.

"Tidak masalah. Saya akan menunggunya di dalam." tanpa basa-basi Ervin langsung masuk ke dalam ruangan di depannya. Mendorong pintu dan menutupnya. Yang seketika membuat suster yang sempat mengantar Ervin pun berdecak kesal.

"Ckk, sombong sekali dia! Benar-benar tidak pantas untuk Dokter Feli." Gumamnya penuh kekesalan.

Hampir tiga puluh menit Ervin menunggu di ruangan Felicia. Sesuatu hal yang baru ia lakukan kali ini. Karna biasanya, Ervin akan lebih memilih pergi ketimbang harus menungu. Namun karna kali ini dia benar-benar membutuhkan bantuan wanita itu. Maka tidak ada pilihan lain selain menunggu.

Dan akhirnya penantian itu pun membuahkan hasil. Felicia masuk ke ruangannya dan langsung tampak terkejut begitu menemukannya.

"Ervin, kamu di sini?"

"Hai, istriku. Kita bertemu lagi." Ucapan itu berhasil membuat Felicia mengerutkan keningnya heran. Ia tatap pria yang kini duduk di sofa dengan gaya angkuhnya. Bersikap seolah-olah tidak terjadi apa pun padahal Felicia masih ingat bagaimana pria itu pagi tadi sempat melemparkan ucapan yang membuat dia merasa geram dan marah.

Tapi lihat sekarang! Dan, apa katanya tadi? Istriku? Apa pria itu mengigau?

Bangkit dari duduknya, Ervin membenarkan jasnya yang sempat kusut. Kembali menatap Felicia dengan senyum terkulum. Tidak lupa kakinya melangkah mendekat ke arah wanita itu. Menatapnya dengan kedua mata elangnya. Memperhatikan bagaimana jas putih kebanggaan wanita itu membungkus tubuh itu. Yang menurut Ervin, tidak lah buruk. Wanita itu bahkan terlihat lumayan saat menggunakan atribut kebanggaannya.

"Aku sudah menunggumu lama di sini."

Kerutan di kening Felicia kian bertambah banyak. Benar-benar merasa terganggu dengan apa yang baru saja pria itu katakan. Pria itu bahkan membahasakan dirinya dengan aku.

"Kenapa, ada masalah?"

"Bersiaplah. Kita akan pergi sekarang."

"Pergi? Ke mana?"

"Acara penting." Sahut Ervin.

"Ke mana?!" Tuntut felicia. Tidak puas dengan ucapan Ervin yang terdengar semaunya. Pria itu bahkan tidak menjelaskan ke mana tujuan mereka. Dan setelah apa yang sering mereka lakukan, apa pria itu berharap Felicia akan menurutinya begitu saja?

"Tidak bisakah kamu tidak banyak bertanya dan kita langsung pergi?"

"Ervin-"

"Mau pergi dengan suka rela atau aku harus menggunakan cara-"

"Apa kamu kira aku bisa pergi sesuka hatiku disaat aku memiliki tanggung jawab dan pekerjaan penting seperti sekarang?" Potong Felicia. Mulai kesal saat Ervin bahkan berlaku semaunya. Pagi tadi pria itu mengatakan hal yang membuat Felicia begitu muak. Dan sekarang pria itu dengan santai memintanya untuk pergi bersama. Apa pria di depannya ini benar-benar gila?

"Pergilah! Aku tidak akan pergi ke mana pun. Terutama denganmu!" Felicia melewati Ervin begitu saja. Menatap wajah itu terlalu lama membuat ia kembali mengingat dengan apa yang pria itu katakan tadi.

"Baiklah." Ujar Ervin. Menahan lengan Felicia yang hendak melewatinya. "Katakan apa maumu agar kamu ikut denganku kali ini!"

Saat Felicia menoleh. Dia temukan wajah itu menatapnya. Pun kedua mata elang itu yang kini mengunci pandangannya.

Ervin mengangkat satu alisnya dengan ekspres bertanya. "So?"

Yang sayangnya sama sekali tidak membuat Felicia terpengaruh. Dengan sedikit enggan dia pun melepaskan cengkramn pria itu. Menarik lengannya hingga tangan besar itu tak lagi menahannya.

"Keputusanku masih sama. Aku tidak akan pergi ke mana pun kecuali kamu memberitahuku ke mana tujuan kita kali ini."

Ervin memalingkan wajahnya, mendengus tak percaya. Namun saat tahu jika segalanya akan semakin memakan waktu dan bisa saja menyulitkannya. Maka.

"Kakekku ingin bertemu denganmu." Akhirnya kata itu keluar juga dari bibir Ervin.

"Kakek?"

"Akan aku jelaskan di jalan nanti. Sekarang, bisakah kita pergi?"

"Kamu masih punya kakek?"

"Demi Tuhan, Felicia! Haruskah aku menjelaskan semuanya disaat kita tidak punya banyak waktu?"

"Kenapa kita tidak punya banyak waktu?"

"Feicia-"

"Semakin kamu mengulur-ulur waktu untuk menjelaskan semuanya. Kita akan semakin membuang waktu di sini." Potong Felicia. Yang lagi-lagi membuat Ervin layaknya pria tolol karna kini dia berubah bungkam. Seakan ucapan wanita di depannya itu benar-benar mengalahkannya telak.

"Dia sedang marah karna aku tidak mengundangnya ke pernikahan kita." Jelas Ervin dengan sisa-sisa kesabaran yang dia punya. "Sekarang, bisakah kita pergi?"

Felicia tersenyum tipis. Tampak puas dengan itu. Jadi dia menjawab dengan suara santainya. "tentu." Lengkap dengan senyum yang kini kian melebar. "Aku akan siap-siap dan membersihkan diri sebentar. Tunggu di sini." Ucapan itu berhasil membuat Ervin terbelalak lebar.

"Tunggu di sini atau tidak sama sekali?!" Ancaman yang lagi-lagi membuat Ervin mati kutu.

"Fine!" Ujarnya mengalah. Ah, lebih tepatnya kalah. Membuat Felicia tersenyum puas karna berhasil membuat pria yang selama ini begitu angkuh kini hanya bisa pasrah dengan semua ucapannya. 

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now