4

1.4K 77 0
                                    

Felicia merasa kepalanya berdenyut nyeri. Sakit sekali hingga rasanya ingin pecah. Memegang kepalanya yang mendadak nyeri. Felicia hendak bangkit sebelum sebuah suara membuatnya nyaris berteriak.

"Kamu sudah bangun?"

Pria itu? Bagaimana bisa dia berada di kamarnya?

"Kenapa? Berniat pingsan lagi?"

Felicia mendengus. Memalingkan wajahnya dan berusaha bangkit agar bisa duduk bersandar di kepala ranjang. Jangan berharap jika pria yang tak memiliki sopan santun, yang duduk di atas sofa kamarnya, yang menatapnya tak bersalah akan membantunya. Pria itu dengan santai bahkan meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Menatapnya dengan wajah yang sama sekali tak berdosa.

"Apa kita pernah bertemu?"

Felicia tak membalas, memilih abai dan pura-pura tak mendengar apa pun. Meski sebenarnya dia sangat ingin memaki apalagi membunuh seseorang saat ini juga.

"Melihat respon juga ekspresimu saat ini, sepertinya sudah."

Ya! Dan aku benar-benar sangat ingin membunuhmu jika kau terus berada di sini!

Begitulah ucapan Felicia dari sorot matanya. Yang benar-benar berniat membunuh pria yang kini beranjak bangun.

"Aku akan mengatakan pada kedua orangtuamu jika kamu sudah bangun." Dia melangkah ke arah pintu kamar. Sedang Felicia hanya melirik malas.

"Oh, ya.." Kaki panjang itu mendadak terhenti dan tubuh itu berbalik dengan tiba-tiba. "Saya tidak tahu jika seorang dokter bedah sepertimu memiliki tubuh yang sangat lemah."

Kedua mata Felicia melotot lebar. Begitu pun wajahnya yang kini berangsur-angsur memerah.

"Hanya saran. Berhentilah menjadi seorang dokter sebelum para pasienmu mati karna dokternya begitu lemah."

Sialan, pria itu! Maki Felicia dalam hati. Kian menajamkan pandangannya pada pintu yang tertutup dari luar. Tubuhnya lemas seketika. Bahkan dia langsung memejamkan matanya dengan kedua tangan menutup wajahnya.

***

"Ervin, bagaimana keadaan Feli?"

Ervin tersenyum menjawab wanita yang langsung menegurnya begitu dia menuruni anak tangga.

"Dia sudah baik-baik saja, Tante."

"Benarkah?"

Ervin hanya mengangguk mengiyakan.

"Tante tidak tahu apa yang terjadi pada Feli. Tapi dia tidak biasanya seperti itu. Maaf kamu pasti terkejut melihat dia yang tiba-tiba pingsan tadi, kan?"

"Tidak masalah, Tante. Mungkin dia kelelahan." Jawaban ramah dan sopan itu harus Ervin akui jika dia sangat kagum pada aktingnya. Belum lagi saat wanita di depannya itu yang tampak percaya. Wanita di depannya ini bahkan langsung meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat.

"Feli sangat beruntung karna memiliki calon suami sepertimu, Nak."

Ervin hanya tersenyum mendengar itu. "Sepertinya Ervin harus pamit, Tante. Hari sudah larut." Ervin sempat melirik ke arah papanya yang kini menyetujui ucapannya. Papanya itu bahkan langsung bangkit dari duduknya diikuti oleh om Jagad.

Ada basa-basi yang kedua orang itu lakukan, yang dengan sabar Ervin dengarkan. Lalu segalanya selesai saat Ervin benar-benar pergi meninggalkan rumah yang baru Ervin ketahui jika rumah itu adalah rumah salah satu sahabat papanya.

"Papa harap kamu tidak akan berubah pikiran setelah melihat kejadian tadi." Ucapan itu terdengar seiring dengan mobil papanya yang meninggalkan halaman rumah. Yang hanya Ervin balas dengan lirikan sekilas.

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now