27

1.1K 72 1
                                    

Ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut juga panas. Membuat Felicia yang membalas ciuman itu pun nyaris kehabisan nafas kalau saja pria yang kini memeluk pinggangnya tidak menjauhkan wajahnya segera. Menatapnya yang kini juga menatap wajah itu dengan nafas memburu juga terputus-putus.

Sampai beberapa menit hanya diam, Felicia merasa wajahnya memanas saat jari jemari itu mengusap bibirnya. Lembut juga teratur. Yang entah mengapa membuat tubuhnya merinding juga gemetar.

Seakan dia tahu isi kepala pria di depannya saat ini.

"Kamu tahu,.." Suara itu berat juga tenang. Namun jelas Felicia temukan jika dikedua mata itu terdapat kabut gairah yang tidak bisa ditutupi. "Bagaimana paniknya aku saat harus terbang ke sini secapat yang aku bisa?"

Felicia menggigit bibir bawahnya kuat. Menahan letupan demi letupan rasa bahagia atas apa yang pria di depannya katakan. Yang seakan mengatakan jika pria itu sangat mengkhawatirkan dirinya. Maka tidak ada salahnya jika kali ini dirinya mengatakan.

"Maaf." Sebagai bentuk rasa menyesalnya karna mungkin, benar. Dia terlalu ceroboh hingga membuat pria di depannya rela datang jauh-jauh padanya dengan jadwal pria itu yang begitu padat.

Rela datang hanya karna Felicia ceroboh sekali sampai dia bisa membuat orang lain memasukkan sesuatu ke dalam makanan atau minuman yang dia konsumsi malam itu.

"Maaf di terima." Ucap Ervin dibarengi dengan kecupan singkat. Bertubi-tubi di seluruh wajahnya, yang seketika membuat wajah Felicia terasa panas layaknya terbakar.

Balas menatap kedua mata itu. Yang menatapnya lurus. Felicia tahu jika dia seharusnya berhanti-hati atau segera menjauh jika tidak ingin terjebak dengan sesuatu yang bisa saja nanti akan membuatnya menyesal di kemudian hari.

Tapi, seakan mengikuti apa yang hatinya minta. Juga respon tubuhnya yang seakan tak ingin menjauh, Felicia malah diam saja saat wajah itu mendekat. Terus mendekat sampai bibir mereka kembali bertemu. Satu ciuman panjang Felicia terima dari pria yang kini menggiring tubuhnya ke arah ranjang. Berjalan mundur tanpa melepasakan ciuman mereka yang kini seakan meluapkan rasa kesal, frustasi juga rindu?

Felicia hanya pasrah. Diam saja saat tiba-tiba pria di depannya membalik tubuhnya. Membuat pria itu berada di depan ranjang dan duduk di pinggir ranjang. Sedang Felicia sedikit memekik karna tiba-tiba saja tubuhnya berada di atas pangkuan pria itu. Diangkat dengan tiba-tiba sampai Felicia kesulitan untuk menghindar.

Kedua tangannya ditarik, dikalungkan di leher itu hingga Felicia bisa dengan leluasa menyentuh, mengusap juga meremas rambut pria yang kini ciumannya telah turun ke lehernya. Bermain-main di sana dan mungkin akan membuat banyak tanda kepemilikan di sana.

Ada lenguhan panjang, tertahan juga desah yang mati-matian Felicia tahan karna kini ada tangan yang masuk ke dalam pakaiannya. Mengusap perutnya sebelum naik ke atas. Terus ke atas sampai menyentuh sesuatu yang kini membuat Felicia meraih wajah itu. Mencium bibirnya dan membungkam bibir itu dengan ciumannya.

Mereka sama-sama melenguh. Sama-sama kian menghisap juga menyesap. Sampai wajah Felicia di tarik. Di jauhkan membuat Felicia bisa melihat wajah itu. Yang lama-kelamaan membuat Felicia terbuai.

Senyum itu terlihat begitu penuh arti, dan tanpa Felicia bertanya, dia benar-benar tahu apa isi kepala pria itu.

"Boleh?" Permintaan itu dijawab Felicia dengan dengan anggukan malu-malu. Yang seketika membuat senyum lebar pria itu terbit. Satu kecupan singkat Felicia terima di bibirnya. Mengundang senyum malu juga kekehan renyah Ervin. Yang entah mengapa, Felicia suka.

Dia suka mendengar kekehan itu-yang mungkin kedepannya dia ingin selalu mendengar. Juga merubahnya menjadi tawa renyahnya.

Dia tersenyum yang dibalas Felicia dengan hal serupa, sampai tubuhnya terangkat, tak lama membaringkannya di atas ranjang dengan hati-hati sedang pria itu mulai menarik kaosnya.

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now