2

1.6K 94 3
                                    

Felicia menatap gedung pencakar langit di depannya dengan pandangan lurus. Hari ini Felicia memilih mengambil cuti karena berniat mencari tahu tentang seseorang yang beberapa hari lalu katanya akan menjadi calon suaminya.

Yang mendadak membuat rumahnya yang awalnya damai berubah menjadi heboh juga berisik. Mamanya tak henti-hentinya meneror Felicia dengan banyak pertanyaan. Dan semua itu hanya seputar persiapan pernikahan. Bagaimana Felicia bisa menyiapkan pernikahan jika dia sendiri belum mencari tahu calon suaminya. Dan, di sini lah dia. Berdiri di depan gedung perusahaan seseorang yang katanya akan menjadi calon suaminya.

Pria yang akan menikah dengannya itu adalah salah satu pria yang berkerja di perusahaannya ini. Orang yang akan menentukan bagaimana kelangsungan hidupnya ke depannya.

Felicia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu pada gedung di depannya. Saat ini sudah pukul tujuh pagi lewat beberapa menit. Informasi yang ia dapatkan, dia bisa melihat pria itu di jam-jam sepagi ini. Karna pria itu gila kerja, dan selalu berangkat pagi-pagi sekali.

Mengangkat dagunya tinggi, Felicia pun melangkah dengan langkah tegas, berani dan sama sekali tidak peduli dengan beberapa orang yang sempat meliriknya. Mencuri pandang pada tubuhnya, atau kaki jenjangnya yang kebetulan hari ini felicia menggunakan dress pendek di atas lutus?

Dia sengaja berpakaian seperti itu hari ini. Memastikan sesuatu yang bisa saja membuat dia merubah keputusannya.

Langkah tegas Felicia terhenti begitu salah satu pihak keamanan menghentikannya. Membuat Felicia sempat mencuri lirik pada beberapa orang yang menatapnya penasaran.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Oh, saya ingin menemui salah satu teman saya yang kebetulan bekerja di sini."

"Boleh sebutkan nama, bagian dan dia bekerja di gedung berapa, mbak?"

Felicia tersenyum tipis. "Namanya Ar-"

"Selamat pagi, Mr. Arnanda."

Ucapan Felicia terputus. Dia menoleh pada pria yang baru saja lewat di sampingnya. Yang berhasil membuat pria di depannya sempat menunduk dan menyapa sopan.

"Pagi." Pria itu sempat melemparkan senyum sopan. Sebagai sikap basa-basi sebelum berlalu begitu saja. Tanpa melirik atau menoleh pada Felicia yang kini diam mengamati pria yang menurutnya-- Lumayan! Pria itu cukup tampan, tinggi, dan ramah. Juga-tunggu! Kenapa juga Felicia harus berkomentar tentang pria yang tak ia kenal itu.

Felicia mendesis kesal. Tapi seakan tersadar sesuatu, Felicia kembali menoleh pada pria yang kini melangkah jauh. Bukankah nama pria itu Arnanda? Dan Felicia ingat betul jika kemarin papanya sempat menyebut nama Arnanda?

"Namanya siapa tadi, Mbak?"

Kembali menoleh ke arah pria di depannya, Felicia menarik sudut bibirnya kian lebar. "Itu tadi Mr. Arnanda putra Pak Bram Artama, ya?"

Ada wajah terkejut yang Felicia temukan dari pria di depannya itu. "Mbak kenal Pak Bram Artama?"

Senyum Felicia kian lebar dan anggukan kepala yang ia berikan membuat kedua mata pria di depannya itu kian menatapnya tak percaya. "Apa orang yang ingin Mbak temui itu Pak Bram?"

"Oh, Bukan."

"Lalu?"

"Saya hanya ingin menanyakan beberap hal. Tapi saya harap mas mau bantu saya dan mejawab semua pertanyaan saya dengan jujur."

"Oh, apa mbak ini wartawan?"

Felicia tertawa renyah, lalu menggeleng. "Saya bukan wartawan, Mas. Saya juga ke sini bukan mau bertemu Om Bram. Tapi kalau mas nggak bisa bantu saya, saya jamin mas bisa berurusan dengan Om Bram."

"Mbak saya nggak akan percaya-"

Felicia langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tasnya. Lalu menunjukkan layarnya pada pria di depannya agar pria itu menatapnya.

"Gimana?"

"O-oh... maaf, Mbak. Saya-"

"Jadi mas bisa bantu aku, kan?"

Meski ragu pria di depannya itu tetap menganguk tegas.

"Pak Arnanda itu adalah tipekal atasan yang ramah dan baik hati, Mbak. Orangnya juga murah senyum pada karyawan. Dan setahu saya. Beliau sangat sopan dan bisa menjadi teladan untuk para bawaan. Karna selain jabatan beliau yang tidak biasa. Beliau juga memulai kariernya benar-benar dari bawah."

"Apa dia pernah terlibat hubungan di tempat kerjanya? Atau pernah terkesa gosip dengan bawahannya?"

"Setahu saya, nggak, Mbak. Orangnya tidak pernah terlibat kasus apa pun dan beliau juga adalah atasan yang mengayomi dan baik hati. Beliau bahkan tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri jika ada atasan yang memperlakukan karyawannya dengan tidak baik. Dan saya jamin, beliau akan menjadi penerus pak Bram yang hebat itu. Juga mungkin perusahaan ini akan semakin maju jika berada di tangan beliau."

Itu adalah hal yang Felicia dapatkan hari ini. Dari salah satu orang yang bekerja di perusahaan OmBram. Dan demi mempercayai semua yang di katakan Bagus. Itu adalah nama pria yang Felicia tahu jika sudah hampir lima tahun bekerja di perusahaan Hartama Corp. Felicia memutuskan untuk berdiam diri di lobi dan mengamati secara langsung. Yang menurut Bagus, Arnanda akan keluar di jam sembilan pagi untuk meeting di luar. Itulah rutinitas pria itu akhir-akhir ini.

Felicia duduk di salah satu sofa, ada ponsel di tangannya yang ia mainkan sejak tadi demi menghilangkan rasa bosan dan jenuh. Namun semua perhatian Felicia teralihkan saat suara seseorang terdengar menggelegar di indranya. Dia mendongak.

"Apa kamu buta?!"

"P-pak... m-maaf... saya.."

"Lihat! Jas saya kotor karna ulahmu, Sialan."

Kedua mata Felicia memicing saat dengan kasar pria yang tidak ia ketahui namanya itu. Kini menepis kasar tangan wanita-yang berusaha membersihkan jasnya. Pria itu bahkan dengan kasar mengumpat dan memaki. Membuat Felicia hanya menggeleng karna pria itu bahkan berani memaki di depan umum. Tapi yang membuat Felicia kian mendengus kesal adalah pria itu bahkan bersikap pada seorang wanita.

"Kamu saya pecat!"

"Pak... saya-"

Pria itu pergi begitu saja. Meninggalkan wanita yang kini di tahan oleh pihak keamanan karena permintaan pria itu. Yang mau tidak mau membuat Felicia menggeleng miris. Cukup kasian pada wanita yang kini tampak meraung-raung di tempatnya. Membuat perhatian semua mata mengarah padanya.

Tidak sampai di sana, keterkejutan Felicia. Felicia kembali di kejutkan dengan sesuatu. Seorang pria yang sejak tadi Felicia tunggu muncul. Tampak berbicara dengan seseorang sebelum dia meminta pihak ke amanan itu untuk pergi. Melepaskan wanita yang sejak tadi menjerit histeris.

Felicia masih diam di tempatnya. Mengamati bagaimana pria yang menurut Felicia tampan itu. Kini memperlakukan wanita itu dari tempatnya. Ada senyum yang tak bisa Felicia cegah untuk terbit. Terukir menghiasi wajahnya dengan perasaan yang lebih ringan.

Arnanda? Tidak buruk juga jika menikah dengannya.

Felicia tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk terbit lebih lebar. Tidak bisa menahan sesuatu yang terasa hangat yang tiba-tiba hadir di dadanya. Sudah bisa ia bayangkan bagaimana ia akan menghabiskan hari dengan pria yang tampak memberi arahan pada seorang wanita di sampingnya sebelum wanita itu membawa pergi wanita yang tadi sempat meraung dan menangis. Pria itu tampak begitu lembut dan sopan. Pria itu bahkan sempat mengangguk dan tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya ramah. Jauh berbeda dengan pria yang sempat ia lihat tadi.

Tanpa sadar Felicia menatap ke arah lift di mana pria yang sempat membuatnya kesal tadi. Pria itu benar-benar tak punya hati. Bagaimana mungkin pria itu marah dan memaki di tempat umum seperti ini? Pada seorang wanita pula. Bisa ia bayangkan bagaimana mengerikannya wanita yang akan menjadi istinya itu nanti.

Sial sekali nasib wanita itu.

Hanya Tentang WaktuWhere stories live. Discover now