LXIV

7 0 0
                                    

Helqi menatap Fla dengan tatapan tidak percaya. Fla hanya bisa tersenyum lemah menatap Helqi yang kini melepas tangan Fla dari pipinya. Pemuda itu menggenggam tangan Fla dan maju satu langkah.

"Fla... gak gitu caranya. Kita bisa selesaiin ini satu-satu."

"Helqi, cape gak? Aku cape, lho." Fla meraih sebelah tangan Helqi yang bebas dan menggenggamnya juga. "Kamu tahu kan kita kelas tiga, sebentar lagi kita masuk universitas. Kamu pingin masuk kedoteran UNPAD, aku pingin masuk FSRD ITB. Kita punya mimpi masing-masing."

"Kita bisa ngejar mimpi sama-sama!"

"Enggak dengan beban rasa bersalah kamu, Qi." Fla menggoyang tangan Helqi. "Kamu terbebani dengan rasa bersalah, aku terbebani dengan keterpaksaan aku ngertiin rasa bersalah kamu sama orang lain. Kita bisa runtuh berdua kalau terus-terusan pegangan tangan, karena kita terlalu berat."

Helqi menunduk.

"Biar aku aja yang pergi. Aku enggak akan bunuh diri karena gak ada kamu, tapi dia bisa gila kalau kamu gak ada. Kalau akhirnya kamu memutuskan untuk ninggalin Rena kuharap itu bukan karena kamu merasa bersalah sama aku, aku harap karena kamu sadar kalau pilihan hidup seseorang itu bukan salah kamu walau pun kamu dijadiin alasan. Kamu enggak pernah ngapa-ngapain dia kan? Dia yang nuduh kamu. Dia yang merasa bersalah sama kamu, saking ngerasa bersalahnya dia gak bisa maafin diri sendiri dan dia berusaha minta maaf karena dengan kamu maafin dia, dia jadi gak hidup dalam rasa bersalahnya. Tapi karena kamu menghindar, she can't stand herself." Fla menghela napas. "Setidaknya, kupikir itu yang terjadi sama Rena. Dan aku udah pernah ngelewatin itu, Qi. Jadi kupikir aku bakal baik-baik aja. Dengan atau tanpa kamu, aku masih bisa bahagia, kok. Jangan khawatir."

Fla tersenyum dan Helqi bergumam maaf berkali-kali dengan suara yang bergetar menahan tangisnya. Gadis itu jadi merasa sangat sedih sekarang, ternyata minta putus itu berat. Menjadi orang yang dibuang berat, meminta putus pun berat. Kalau boleh meminta, Fla ingin akhirnya mereka berpisah tanpa ada kata-kata selamat tinggal. Selain kata maaf, kata selamat tinggal juga menjadi salah satu kata terberat.

"Aku nyari kamu lama.." Helqi mendongak menatap Fla. "Akhirnya kamu ada sama aku. Tapi aku malah gini. Maafin aku, Fla."

"Bukan salah kamu." Fla melepaskan tangannya dan berjinjit untuk mengusap kepala Helqi seperti mengusap kucing. "Kamu anak baik."

"Kamu balik sama Reyhan?" Helqi cemberut.

"Itu aja yang kamu khawatirin?" Fla tertawa.

"Bukan. Maksudnya... aku pingin memastikan kamu ada yang jagain. Dia kayanya masih suka sama kamu. Kalau dia bisa jagain kamu lebih dari aku, aku lega." Helqi menghela napas.

Fla menggeleng.

"Aku bisa cari kebahagiaanku sendiri, aku bisa jagain diriku sendiri. Aku bisa, Qi. Kamu pikir putusnya aku sama Rere sia-sia? Semua itu ada hikmahnya. Pasti." Fla nyengir. "Dia, kamu, aku, bukan tempat untuk berhenti melangkah."

Fla dan Helqi saling tatap dan akhirnya Helqi mengangguk.

"Aku... duluan. Kamu pulangnya..."

"Dijemput Ayah. Hari ini bakalan sampai malem banget ngerjain portfolio."

Helqi kembali mengangguk dan menaiki motornya. Ia memakai helm dan melambai singkat pada Fla lalu meluncur pergi dari parkiran. Fla menghela napas. Ternyata memang lebih mudah kalau tidak ada yang menghambat langkahnya. Ia pikir akan berat sekali melepas Helqi, tapi ternyata ia merasa baik-baik saja.

Fla memutar langkahnya untuk kembali ke dalam bagunan rumah bimbelnya dan tersenyum melihat Reyhan sedang melangkah keluar dari pintu. Reyhan melihatnya dan melambai lalu berbelok ke kantin. Fla membalas lambaian tangan Reyhan dan kembali masuk ke dalam loby bimbel dengan langkah ringan.

Reyhan bersandar di pilar sebelah jalan masuk kantin. Merenungi semua kata-kata Fla yang berhasil ia curi dengar.

Way Back to YouWhere stories live. Discover now