LIX

6 0 0
                                    

"Haikal?" Fla tersenyum menatap wajah familiar di hadapannya yang sudah lama tidak bertegur sapa.

"Kok tahu?" Haikal tertawa.

"Kacamata..." Fla menunjuk sepasang mata tambahan di wajah Haikal.

"Bisa aja aku Helqi yang pake kacamata, kan?" Haikal menggerak-gerakkan matanya dengan lucu.

"Beda." Fla tertawa pelan. Agak heran, kenapa mereka bisa menyapa akrab begini padahal sudah lama tidak bicara.

"Sendiri? Helqi mana?" Haikal celingukan.

"Oh..." Fla bingung mau menjawab apa, kalau jujur ia takut disangka mengadu. Tapi jelas-jelas kalau jawab sendiri pasti akan menimbulkan pertanyaan baru. Kenapa sendiri? Kok gak ditemenin Helqi?

"Bukannya tadi pagi dia bilang mau pergi sama kamu?" Haikal mengerutkan keningnya.

"Lho? Emang Helqi ga bilang?" Fla kelepasan karena heran, kenapa Helqi menyembunyikan tentang Rena pada keluarganya?

"Bilang apa?" Haikal mendesak Fla.

"Aduh. Jangan-jangan ini rahasia?" Fla menggigit bibirnya, tapi Haikal terus menatapnya dengan tatapan heran maksimal. "Dia kan... jenguk Rena dulu."

"Hah? Rena? Rena... Rena?!" Haikal mengangkat alisnya semakin tinggi. "Kok bisa kamu kenal sama Rena? Terus kenapa juga si Helqi kudu jenguk cewek itu segala sementara ini ceweknya sendirian?"

"Aduh... Kal. Tanya sendiri sama Helqi, ya? Kalau ternyata kamu beneran gak tahu aku kayanya bukan orang yang tepat untuk ngasih tau kamu, deh!" Fla meringis menatap Haikal yang tampaknya sedikit kesal dengan kenyataan Rena kembali ke dalam hidup mereka.

"Oke. Nanti kutanya sendiri. Tapi ini kenapa kamu sendirian?" Haikal menghela napas dan menatap Fla lagi.

"Gak sendirian."

Fla menoleh karena satu suara tiba-tiba muncul di belakangnya, matanya terbuka lebih lebar lagi. Ia bergantian menatap Haikal dan mulai bingung mau jawab apa, karena saat itu Reyhan dengan ramah menyapa Haikal dengan anggukan kepala dan senyum.

"Nih, bukunya ambil aja dulu. Kulihat cuma ada satu di rak." Reyhan menyerahkan sebuah buku yang memang tadi Fla tandai dengan cara membalikkan bukunya. Dengan otak kosong melompong yang tidak bisa menebak skenario dari munculnya Reyhan tiba-tiba hanya bisa membuatnya menerima buku dari tangan Reyhan sambil mengucapkan terimakasih lirih.

"Oh, Reyhan ya? Temen bimbelnya Fla?" Haikal yang tadi juga terlihat sangat kaget mulai menguasai diri dan menyapa balik Reyhan dengan keramahan yang sama.

"Iya. Masih inget." Reyhan meraih belanjaan Fla dari tangan gadis itu dan tersenyum manis. "Yuk, udah ini doang belanjanya?"

Fla terpana dan hanya mengangguk. Lalu Reyhan menoleh pada Haikal sekali lagi, masih dengan senyum salesmannya yang terbaik. "Mau ikutan? Abis ini kita mau makan."

"Eh?" Fla menoleh kaget.

"Oh?" Haikal menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Aku tadi bareng anak-anak sekelas, ada acara nonton bareng." Haikal melirik Fla dengan tatapan bingung yang sama kosongnya dengan tatapan Fla. "Aku balik ke temen-temen, ya, Fla. Daah! Duluan, Re."

Haikal melambai canggung pada Fla dan segera berbalik pergi. Fla menatap kepergian Haikal dengan perasaan campur aduk. Apa yang dipikirkan oleh Haikal? Bagaimana kalau dia mengatakannya pada Helqi kalau Fla jalan berdua sama mantan?

"Yuk, La." Suara Reyhan mengaburkan pikiran Fla. Gadis itu menoleh pada Reyhan yang berada tepat di sampingnya, melotot kaget, masih belum mengerti situasi. "Mau beli buku lagi?" Reyhan menatap Fla dengan wajah polos tanpa dosa, seakan-akan mereka memang datang berdua.

"Kamu kok bisa ada si sini?" Fla mendengus.

"Kamu pasang status, kan? Foto tiket nonton." Reyhan tersenyum. "Ada nama bioskopnya."

"Hah?" Fla masih tidak mengerti. "Kenapa nyamperin ke sini?"

"Karena kamu sendirian. Helqi pasti gak datang." Reyhan menelengkan kepalanya pada Fla seakan-akan sedang menjelaskan pada anak kecil kenapa mereka tidak boleh beli cokelat.

"Hah? Kok tahu?" Fla meninggikan sedikit nada suaranya saking kesalnya Reyhan tidak bercerita secara lengkap.

"Foto kamu sendiri, yang mana enggak mungkin kalau kamu pergi berdua kamu cuma foto sendiri. Aku langsung ke sini karena aku udah tahu Helqi gak bakalan datang. Kan, aku denger obrolan kamu di telepon kemarin. Dan aku tahu, kamu pasti bakalan ke toko buku. Jadi aku ke sini dan nemu kamu lagi browsing buku." Reyhan mengehela napas dengan sabar. "Mau aku langsung samperin tapi kamu lagi asik baca-baca buku dan balik-balik buku. Gak tega ganggunya jadi kuikutin doang." Reyhan nyengir.

Fla menatap Reyhan di hadapannya dan entah kenapa amarah yang kemarin sedikit menguap. Mungkin karena ia sebetulnya tidak mau sendiri, atau dia sudah terlalu lelah untuk marah atau pun protes, atau bereaksi apa saja. Fla hanya bisa tersenyum simpul sambil mendengus.

"Udah? Ini aja belanjanya?" Reyhan menunjuk barang-barang Fla yang kini ada di tangannya sekali lagi karena ia yakin kini Fla sudah menerimanya untuk jalan bersamanya.

Fla menarik lengan Reyhan sedikit agar ia bisa mengambil salah satu buku yang tadi sedang ia baca dan buku yang tadi dibawakan oleh Reyhan. Dengan serius ia membaca sekali lagi bagian belakang buku-buku itu dan menimbang-nimbang dari sampulnya.

"Kenapa?" Reyhan membungkuk sedikit agar bisa melihat buku itu juga seperti Fla.

"Lagi mikir mau yang mana." Fla bergumam pelan.

"Emang kenapa?"

"Ini Gillian Flynn, misteri pembunuhan. Kayaknya sih bukan horor." Fla menunjuk salah satu buku yang bersampul gelap. Lalu ia menoleh ke buku satunya lagi, "Kalau ini Leila Chudori, cerita tentang tragedi 65 dan 98. Yang satu lokal, yang satu luar, terjemahan."

Reyhan sedikit tertawa melihat Fla dengan serius memilih bukunya. "Kamu suka dua-duanya kayaknya," komentar Reyhan sambil mengambil salah satu buku dari tangan Fla.

"Iya. Tapi aku harus pilih satu." Fla bergumam-gumam lagi dengan serius mengundang tawa Reyhan sekali lagi. Dan tiba-tiba saja buku kedua di tangan Fla diambilnya. "Eh?" Fla mendongak mengikuti ke mana buku itu bergerak.

"Aku traktir, ya." Reyhan berjalan melewati lorong rak buku menuju kasir.

"Gak usah, Re. Aku cuma harus pilih satu." Fla menahan bagian belakang sweatshirt Reyhan sampai pemuda itu menoleh menatapnya.

"Keliatannya kamu kesusahan." Reyhan berbalik kembali menghadap Fla.

"Soalnya yang satu penulis yang baru aku tahu," Fla menunjuk buku hitam di tangan kanan Reyhan dan menunjuk buku lain yang bersampul merah sambil menambahkan, "yang satu lagi aku udah baca dua buku karyanya."

"Pilih yang udah kamu tahu, dong!" Reyhan menunjuk buku yang bersampul merah.

"Tapi penulis baru juga kayaknya menarik, sinopsisnya oke." Fla menyentuh dagunya, kembali bimbang.

"Ya belilah yang belum pernah kamu baca karyanya." Reyhan menyodorkan buku hitam ke hadapan Fla.

"Tapi kalau gak seru gimana? Nanti aku menyesal."

"Emang yang merah pasti seru?"

"Oh iya. Aku udah baca dua karya sebelumnya dan bagus. Beliau ini dulu jurnalis waktu tahun 98. Walau ada sedikit yang agak pretensius, kayak karakter-karakternya, tapi dalam segi penulisan enak dibaca dan alur cerita bagus."

"Kayanya bener-bener kamu tahu banget ya?" Reyhan menarik buku hitam dari depan wajah Fla dan menatap buku merah itu sekali lagi. "Terus, kenapa kamu ragu untuk beli yang merah ini?"

"Aku... takut endingnya gak sesuai harapan. Dua karya sebelumnya endingnya lumayan sedih."

"Tapi kamu tau kan karyanya bagus." Reyhan berjalan mendekat. "Kalau yang baru lebih banyak bikin bingungnya... lebih baik yang lama yang udah kamu tahu banget, kan?"

Way Back to YouWhere stories live. Discover now