37. Bendera Perang

39 4 4
                                    

"Makin ingin melupakan sesuatu, makin sulit untuk melupakannya." — Friedrich Wilhelm Nietzsche dalam Morgenröte
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

37. Bendera Perang

Lissa menatap ibunya yang sedang tertidur pulas di atas kasur. Merasa prihatin dengan keadaannya. Yang lebih memprihatinkan lagi, kakaknya belum juga kembali. Ada banyak hal yang ia rasakan selama kepergian Rivanno. Selama ini ia terlalu menyalahkan kakaknya dalam segala hal. Ia tahu dia tidak sesempurna itu, tapi jika dipikir-pikir lebih jauh selama ini ia sudah keterlaluan padanya.

Seringkali Lissa mengatakan bahwa kakaknya adalah pembuat onar. Karenanya ia malu memiliki seorang kakak seperti dia. Dia kadang bercerita pada teman-temannya di sekolah bahwa Rivanno melakukan hal yang sia-sia di SMA Alphard O'Hanan. Nyatanya itu hanya asumsinya saja tanpa tahu yang sebenarnya. Bagaimanapun juga Rivanno sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah mereka meninggal.

Lissa baru menyadari itu. Jika Rivanno tidak pernah hadir dalam keluarga ini, mereka akan hidup lebih susah dari ini. Lissa mungkin tidak akan melanjutkan sekolahnya.

Kedua matanya berlinang membayangkan itu. Kenyataan jauh lebih buruk dari yang ia duga. Benar. Sejak kehadiran Rivanno di rumah ini, dia adalah orang baik. Dia bukan cowok serampangan yang banyak maunya. Dia juga tidak pernah bermain perempuan atau malah jarang sekali cowok itu mendekati cewek seusianya.

Bagiamana jika dia meninggalkannya? Apa Rivanno setega itu?

Interaksinya dengan Rivanno selama ini juga biasa-biasa saja. Mereka tidak pernah melontarkan candaan menjengkelkan yang biasa dilakukan sesama saudara. Mereka juga tidak pernah bertengkar. Hanya perdebatan kecil yang selalu ia mulai dan berhasil skakmat dimenangkan oleh Rivanno. Kakaknya itu juga overprotektif padanya. Ia tidak boleh keluar malam-malam hingga larut. Harus selalu izin padanya jika ingin pergi bersama teman. Rivanno juga tidak pernah absen memberinya uang saku.

Apa yang kurang darinya selama ini? Kenapa ia begitu egois?

Kedua matanya berlinang air mata. Lissa menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Isakan keras terdengar. Ada satu fakta rahasia tentang Rivanno di keluarga ini yang hanya keluarganya saja yang tahu. Rahasia menakutkan yang bisa membuat Rivanno pergi meninggalkan keluarga ini untuk selamanya.

Pintu kamar terbuka perlahan. Kenjiro terhenyak melihat Lissa menutupi wajahnya dengan bahu sedikit terguncang.

"Lis, lo nggak pa-pa?" tanya Kenjiro pelan. Cowok itu berjalan menghampiri.

Lissa mengusap kasar pipinya. "Nggak pa-pa kok kak. Makasih udah berusaha nyariin kak Vanno." balas Lissa masih sesenggukan.

Kenjiro menunjukkan sesuatu padanya. Ponsel blackberry putih milik Rivanno. "Dia ternyata nggak bawa hpnya. Nggak ada apa-apa di ponsel ini jadi gue nggak dapat informasi apapun."

"Apa dia sengaja?" gumam Lissa.

"Apa maksud lo?" Kenjiro tidak suka dengan apa yang dipikirkan Lissa.

"Sebelum dia pergi dia juga bilang sesuatu. Kalau misalnya uang untuk kebutuhan sehari-hari yang dikasih kalau kurang, bisa ambil di lemari kamarnya dia. Pas gue cek, ternyata uangnya lumayan banyak buat hidup lebih dari sebulan. Ada uang tambahan juga yang dia kasih buat beli kursi roda buat bunda." Lissa kembali menangis tak tertahankan.

"Lo jangan berfikir yang macem-macem Lissa. Buat apa dia pergi gitu aja? Rivanno minggat ninggalin lo itu artinya dia juga ninggalin gue dan semua orang di SMA A.H asal lo tahu," ucap Kenjiro penuh penekanan.

LOS(V)ER: You Live SucksWhere stories live. Discover now