48. Sebab terlalu panjang malam ini

15.9K 2.8K 594
                                    

48. Sebab terlalu panjang malam ini















"Dulu waktu pertama kita ketemu, kamu judes banget sama aku."

Hela napas Remi terdengar lebih keras begitu ia mulai bicara. Menandakan ketidaksukaannya atas topik yang ia angkat usai beberapa lama bungkam. Tapi Nawa tak peduli. Nyatanya yang ia lihat di depan rumahnya tadi cukup membuatnya terprovokasi. Ia memang sudah berjanji tak akan ribut masalah ini. Tapi kini tak bisa lagi. Terserah kalau pun ia dibilang tak tahu diri, bodo amat jika Remi menggapnya berlebihan lagi.

Tatapannya terpicing pada jam tangan yang kini teronggok di dashboard mobil. Rasa ingin membuang benda itu makin membuncah ketika ingat senyum manis perempuan yang tadi mengantarkannya pada sang suami. Benda mati itu memang tak punya dosa, tapi hati Nawa yang pendengki terlanjur membencinya sebab ada bekas sentuhan Darly di sana.

Mulai sekarang, ia akan membenci segala hal yang mengandung kata Darly di dalamnya.

"Kamu segitunya benci sama aku. Kamu ogah-ogahan nganterin aku pulang, ngelarang aku pegang apa pun yang ada di mobil sampai aku ngerasa nggak enak hati dan nekat turun di tengah jalan--"

"Kamu turun di club malam, Babe. Bukan di tengah jalan."

Ia menoleh, melirik Remi yang memotong perkataannya dengan pandangan lurus menatap jalanan. Tampang lelaki itu menegang, seolah siap mendebat protes apa pun yang ia layangkan. Remi tak pernah mau disalahkan.

Ia mendengus. "Kalau Darly yang waktu itu nebeng sama kamu, kemungkinan besar kamu nggak akan tega nurunin dia gitu aja karena dia cewek baik-baik, kan?"

Cara Remi memperlakukannya dulu dan cara Remi menanggapi godaan Darly barusan langsung membuatnya dengki setengah mati.

Ia sudah tahu dulu Remi meremehkan dan menganggapnya tak berguna. Demi Tuhan, Nawa juga masih ingat jelas kata-kata jahat yang pernah Remi beri untuknya. Kalimat itu mengendap di sudut hati terdalamnya dan akan selalu ia ungkit sampai mati jika dibutuhkan. Dulu, kalimat kasar Remi terasa biasa saja di kupingnya, tapi kini, jika diingat lagi, lantas dibandingkan dengan bagaimana Remi membiarkan Darly memberinya sinyal-sinyal macam tadi membuatnya tak urung patah hati.

Ia kesal karena Remi pernah sejahat itu padanya. Tapi ia jauh lebih kesal karena Remi tak bisa melakukan hal serupa pada Darly.

"Coba yang kayak gitu aku, kamu pasti langsung ngatain aku cewek murahan, liar, binal, babi hutan yang baru lepas ke kota. Padahal aku pernah ngapain kamu sih dulu? Megang kamu aja enggak pernah, apalagi sampe nyamperin ke rumah pagi-pagi kayak yang tadi," sindirnya. "Kalau aku yang lakuin jatuhnya murahan, tapi kalau Darly jatuhnya perhatian, kan?"

Remi menggersah. "Ini kita mau ngomongin apa sih, sebenernya?"

"Ya ngomongin ini," sahutnya, memangku tangan di dada. "Aku penasaran, kalau yang malam itu nebeng sama kamu Darly bukannya aku, apa kamu tetep akan sesantai itu nurunin dia di tengah jalan--"

"Genawa, aku ulangin sekali lagi, aku bukannya nurunin kamu di tengah jalan waktu itu. Aku nurunin kamu tepat di depan tempat yang kamu mau," potong Remi lagi, kali ini mulai terdengar tak lembut di kupingnya. Lelaki itu tersinggung, barangkali karena ia terus-terusan membawa nama Darly dalam percakapan mereka.

Sebegitu peduli Remi pada seorang Darly sampai Genawa pun tak diperbolehkan mengusik namanya. Ia mendengus lagi, tersenyum kecut.

"Dan kamu sendiri yang minta turun waktu itu," imbuh lelaki itu. "Aku memang nurunin kamu, tapi aku juga balik lagi buat kamu kalau kamu lupa."

"Dan kamu ngungkit itu di depanku sambil ngata-ngatain aku di lokasi syuting waktu itu," kenangnya. "Kamu bilang aku musisi terburuk yang pernah kamu temui, kamu bilang aku bikin kamu malu, image-ku merusak nama baikmu," balasnya ketus.

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now