26. Sedang kita tuannya, pemilik rumah

12K 2.3K 413
                                    

26. Sedang kita tuannya, pemilik rumah












Hal pertama yang Genawa lakukan ketika terbangun pagi itu adalah menepuk jidat, mengumpat dan lanjut merutuki diri sendiri sebab kepalanya langsung memberi kilas balik-kilas balik mengenai kegiatan yang ia lakukan semalam, bersama lelaki yang saat ini pun masih memeluknya di belakang.

"Udah gila," gumamnya, melirik tangan Remi yang melingkari perutnya sejenak. Mengutuk dirinya lagi. "Cewek sinting, cewek goblok!" gumamnya, menjambaki rambut dengan frustasi.

Ia tak ingat apa saja yang mereka obrolkan. Namun ia ingat betul ketika dirinya naik ke pangkuan Remi dan memulai kegiatan panas itu bersama. Bayangan dirinya dan Remi yang saling menggoda itu lengket sekali di ingatan, sulit ia enyahkan. Ia ingin mati saja saat tiba-tiba teringat, bahwa dirinya sempat merengek-rengek agar lelaki itu membuang kaosnya. Genawa berseru shock, menatap horor kedua tangannya yang semalam rajin menggerayangi tubuh Remi. Ya ampun! Tangannya yang pendosa!

"Dasar cewek nggak punya otak!" Ia kepalkan tangan laknat itu dan hendak menghantam diri sendiri seandainya Remi tak bergegas menghadang. Lelaki itu menahan kepalan tangannya yang melayang, menghela napas panjang lantas menariknya agar balik badan. Sedang Nawa menelan ludah, menengadah kala Remi bergumam.

"Dingin, nggak?"

Semoga Remi mabuk dan lupa dengan kejadian semalam. Semoga Remi tak ingat dengan tindak pelecehan yang ia lakukan. Semoga Remi .... oh, tolong, tolong buat Remi amnesia agar ia bisa menyelamatkan harga dirinya!

"Tangan lo dingin banget," gumam lelaki itu, masih dengan mata terpejam, sepertinya berat diajak terbuka. Ia mendekap lagi tubuh Genawa dan mengulang tanya. "Dingin, nggak?"

Ia menggeleng. Gagu menjawab 'tidak' semampunya.

"Hujan di luar. Nggak usah berenang dulu."

Nawa memang tak berniat berenang. Ia hanya berniat mencari lubang kuburan saja untuk dimasuki karena tak sanggup lagi mengingat rekam jejaknya yang memalukan. Artis porno saja kalah dengan performa debutnya semalam! Barangkali Nawa memang salah negara. Harusnya ia jadi aktris di Jepang sana. Aktris tanda kutip tentu saja.

"Dingin banget," gumam Remi pelan, mengeratkan pelukan hingga Nawa rasa tubuhnya menghilang tertutup kedua lengan Remi yang melingkupi. Kaki lelaki itu ditimpakan ke tubuhnya, ia seperti guling hidup saat ini. "Dinginnya," ujar si suami lagi.

Nawa mengerjap-ngerjap linglung. Sikap Remi sungguh tak biasa sekali. Jangan bilang ia ngelantur semalam? Apa yang sudah ia katakan sehingga Remi jadi baik macam orang benar begini? Tunggu ... Nawa ... tak mengoceh bahwa ia akan merelakan warisan itu, kan?

Bagaimana ini. Genawa tak ingat apa-apa. Ia hanya ingat hal-hal kotor saja sekarang.

"Rem?" Ia mendongak, meloloskan satu tangannya yang sejak tadi ia jadikan penghalang antara dadanya dan perut Remi untuk sekedar bertanya.

"Hng?"

"Semalam ... gue nggak ngomongin soal warisan, kan?"

Remi mengerjap, membuka mata dan menunduk, beradu tatap dengannya sesaat. Tersenyum tipis lalu geleng-geleng kepala.

Ia mendesah lega. Syukur lah. Mati pun tak akan ia serahkan bagian warisannya pada siapa-siapa. Minimal sepuluh persen dari harta keluarga Wallen harus ia amankan untuk anak-anaknya kelak!

"Ge,"

"H-huh?" Ia menatap Remi lagi. Gagu menanggapi. "A-apa? K-kenapa?" tanyanya panik, was-was tentang apa yang akan Remi katakan padanya.

"Sampai mana yang lo inget?"

Ingat?

"Yang semalam," tambah Remi, membantunya paham. "Sampai mana lo inget?"

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now