13. Dan kita berenang, bersama mencari tepi

11.3K 1.9K 371
                                    

13. Dan kita berenang, bersama mencari tepi











Ia bebas!

Oh, betapa sejuk udara penuh polusi yang masuk ke rongga-rongga hidungnya ini. Betapa cantik debu-debu jalanan yang mereka lewati. Betapa merdu suara nyaring klakson yang bersahut-sahutan di telinga. Dan betapa menawannya para tukang ojek online yang ugal-ugalan di jalan.

Setelah berhari-hari hanya bisa melihat kasur, meja belajar dan kamar mandi, akhirnya ia bisa melangkah keluar lagi dengan gembira. Turun dari mobil mendahului lainnya, melompat-lompat riang dan berputar dengan kedua tangan terangkat bagai balerina. Ia seperti peri kecil yang akhirnya punya sayap setelah berabad-abad hanya bisa ngesot saja memandangi awan dan langit. Genawa suuuuuungguh bahagia!

"Dia mabuk?"

Suara menyebalkan Remi bahkan tidak membuatnya sebal di saat begini. Hormon kebahagiaan yang namanya entah apa itu memang dahsyat kinerjanya.

"Enggak. Emang gitu kelakuannya. Itu baru nol koma nol-nol-nol-nol-satu persen dari seribu tingkah sintingnya yang bisa lo lihat setelah kalian menikah."

Suara Tere juga jadi indah sekali di kupingnya.

"Apa lebih baik gue masuk penjara aja kalau gitu?"

"Jangan sembarangan, Remi. Diem."

"Lihat dia, Mbak. Tingkahnya sama sekali nggak normal."

"Udah dibilang jangan ngomong gitu!"

Oh. Begitu indah kebebasan ini. Ia tidak peduli apa yang Remi katakan pada Ayahnya hingga ia diperbolehkan pulang ke apartemen. Tapi jelas, ia gembira sekali bisa kembali ke kediamannya yang nyaman. Ia tekan tombol lift dengan senyum lebar, masuk ke kotak besi itu sambil menggoyangkan kedua bahunya ribut, menanti tiga orang yang kini menyusulnya masuk dengan aneka wajah berbeda. Dari tiga ekspresi beragam itu, hanya ekspresi Melia yang ia suka.

"Seneng lo?" tanya Tere, membuatnya mengangguk mantap.

Tentu saja ia senang bisa keluar setelah dikurung berhari-hari lamanya!

"Lo rasain aja nanti punya mertua banyak bacot."

"Selama nggak sebacot Bu Harti, gue nggak masalah," jawabnya, nyengir gembira.

Remi kelihatan garuk-garuk kening di sisinya, meliriknya dari pantulan lift cukup lama, lalu berdekhem pelan.

"Lo nggak apa-apa?" tanya lelaki itu pada akhirnya. Mau tak mau membuatnya menoleh dan menengadah, mengerjap tak paham. "Nggak dipukul bokap lo?" imbuhnya, menerangkan arti 'apa-apa' barusan.

Nawa menggeleng. "Cuma digembok di kamar enam hari," katanya.

"Oh." Remi manggut-manggut, tampak lega.

"Ngomong-ngomong ..." Dari arah belakang Melia menyembulkan kepala, berada di tengah-tengah antara Nawa dan Remi lantas berkata. "Bisa nggak, mulai hari ini kalian jangan gue-elo lagi?"

Nawa berkedip, mengerutkan kening lalu membalas. "Ai nggak apa-apa. You jangan khawatir, Remi. Gitu, Mbak?"

"Lo tuh cina seperempat, nggak usah belagak aiyu-aiyu," decih Tere sebal, tiba-tiba menimpali dari sisi kiri. "Nggak pantes. Kalau Tante Adel yang ngomong, baru cocok."

Melia tersenyum tipis, mengusulkan. "Pakai aku-kamu aja," ucapnya. "Kayak pasangan normal pada umumnya."

"Ooh," Nawa manggut-manggut, langsung mempraktikkannya segera. "Aku nggak apa-apa, Remi. Kamu jangan khawatir." Tapi baru sedetik ia lakukan, tawa Remi langsung tersembur tak karuan. Lelaki itu menyerongkan badan, menggebuk pinggiran lift dan terbahak-bahak kurang ajar.

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now