30. Biar kutunggu, berapa panjang pun itu

11.6K 2.3K 258
                                    

30. Biar kutunggu, berapa panjang pun itu













Sepandai-pandainya ia berdusta, Nawa tetap tak mampu menipu diri bahwa saat ini dadanya bergemuruh tak karuan. Mata mereka bertemu sekian lama sebelum lelaki itu memutuskan masuk dalam lift yang sama, melangkah menghampiri, berpijak beberapa langkah saja darinya. Jantungnya berdegub, nyaris meledak. Sistem syaraf di tubuhnya mendadak mandek semua. Ia tidak bisa bergerak. Badannya kaku hingga pelukan Remi lah akhirnya menarik ia mundur. Nawa baru mengerjap ketika Remi berbisik di telinganya.

"Genawa, lo istri gue."

Ia tahu itu. Nawa tak amnesia. Ia masih ingat bahwa dirinya adalah istri orang. Kalau pun lupa, ada cincin di jari manisnya yang akan selalu mengingatkan. Tapi masalahnya ...

Lelaki itu memundurkan langkah, bersandar di bagian belakang lift sama seperti Remi. Memangku tangan di dada. Ia berdekhem dan Nawa serta merta menelan ludah. Matanya panas, tangannya terkepal di sisi tubuh dan sulit baginya mengendalikan diri untuk tak menoleh. Lehernya tergerak otomatis ke kiri, menatap lamat-lamat lelaki di sebelah suaminya, enggan berkedip terlalu sering.

Lelaki itu mengerjap, tersenyum tipis pada sepasang kakek nenek yang menyapanya. Membalas sapaan itu sependek yang ia bisa lantas kembali bungkam menatap depan.

Betapa rindu ia dengan Harvey. Betapa ia ingin menggenggam tangannya meski sebentar saja. Tapi sepertinya Harvey akan marah jika ia nekat melakukannya. Nawa tak punya pilihan selain menahan diri.

"Ge," panggil Remi lembut. Menjulurkan kepala, menjeda tatapnya pada Harvey dengan mata menyipit penuh peringatan. Ia mengerjap-ngerjap linglung, bergumam menjawab dengan terbata-bata, terlambat sadar bahwa Remi berhasil mencuri satu kecup di pipi, memanfaatkan kelengahannya. "Lihat depan," perintah si suami. "Depan," tegasnya.

"Huh? O-oh ... i-iya, he-eh," angguknya. "D-depan." Ia menatap depan, mengikuti perintah Remi yang kembali memeluknya erat di belakang. Kedua tangan Remi mengular di perutnya, membuat rekat tanpa jarak tubuh mereka.

Tapi, sekali pun Remi telah memeluknya sedemikian erat, ketaatannya pada perintah tadi tidak lah bertahan lama sebab ketika ia mendengar Harvey berdekhem lagi, ia pun spontan menoleh kembali. Mengerjap, menatap lelaki itu penuh harap. Menanti-nanti kapan kiranya Harvey sudi meliriknya. Harapannya terlampau besar. Dan ia harus siap patah sebab seberapa lama pun ia menanti, lelaki itu masih konsisten meluruskan pandangan.

Harvey tak mau menatapnya.

Nawa mendesah, menunduk kecewa. Dadanya tersengat panas, tenggelam dalam rindu yang tak tuntas. Padahal mereka sudah sedekat ini. Jika pun enggan mengajaknya bicara, Harvey bisa meliriknya barang sebentar saja. Matanya buram, berkaca-kaca. Ia rasa akan menangis sebentar lagi.

"Rem," bisiknya, menggenggam lengan Remi yang masih setia melingkar di perutnya dengan sebulir airmata yang turun tanpa bisa dicegah.

Sudah dibilang ia akan menangis.

Remi bergumam menjawab. "Hm?"

"Ah, matanya pedes," keluhnya manja, cari-cari alasan agar bisa balik badan. "Kelilipan rambut," ia berdalih, menyembunyikan wajahnya yang mulai basah ke dada Remi, mengusak-usakkan airmatanya ke kaos si suami dengan segera.

Dan Remi pasti tahu ia berdusta. Si suami mendukung penuh kebohongannya dengan mengulurkan tangan, memeluknya erat sembari bergumam. "Poni kamu kepanjangan." Lalu membenamkan bibirnya di kepala Nawa dengan otot dada yang menegang. "Nggak apa-apa. Nanti beli obat tetes mata, ya?"

Sialnya, kecanggungan mereka makin jadi sebab sepasang kakek nenek tadi turun lebih dulu di lantai lima, mau mengambil hasil rontgen katanya. Menyisakan ia bersama Remi dan juga Harvey di dalam sana.

Di ujung nanti, mari jatuh hatiWhere stories live. Discover now